Sabtu, 06 Desember 2025

PEMANFAATAN LIMBAH AIR CUCIAN BERAS SEBAGAI BAHAN DASAR BIOFOAM PENGGANTI STYROFOAM RAMAH LINGKUNGAN

PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara dengan peringkat ke 2 setelah Negara China dalam

menghasilkan sampah plastik (styrofoam) sebesar 187,2 ton. Data tersebut juga

selaras dengan data yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan dimana hasil dari data tersebut yaitu styrofoam yang dihasilkan selama

kurun waktu 1 tahun sudah menimbulkan timbunan mencapai 10,95 juta buah

sampah. Sampah styrofoam terbesar dihasilkan non rumah tangga sebanyak 11,9

ton per bulan. Sementara, rumah tangga menyumbang sebanyak 9,8 ton per bulan.

Persentase sampah styrofoam mencapai 1,14% dari 12% sampah plastik yang

terkumpul setiap bulannya (Dinanti dkk., 2024).

Berdasarkan data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah

melakukan penelitian di 18 kota utama Indonesia, sebanyak 270.000 hingga

590.000 ton sampah masuk ke laut Indonesia selama tahun 2018. Dari jumlah

sampah tersebut, didominasi oleh styrofoam. Permintaan kemasan styrofoam di

Indonesia berada di kisaran 700-800 ton per bulan. Banyak pelaku usaha mikro

kecil dan menengah (UMKM) khususnya sektor makanan, menggunakan styrofoam

sebagai makanan karena selain mudah dan praktis, daya tahan terhadap suhu panas

maupun dingin juga menjadi pertimbangan bagi pengguna kemasan ini. Kelebihan

lainnya dari kemasan ini yaitu bahannya yang ringan, anti air, serta tidak gampang

mengalami kerusakan karena suhu panas (Abdullah dkk, 2022). Tidak hanya itu

permasalahan sampah semakin naik setiap tahunnya, dari periode tahun 2017-2025

kenaikan jumlah sampah terutama sampah plastik terus meningkat, namun belum

ada solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Gambar 1. Grafik Penimbunan Sampah di Indonesia 2017-2025


Sumber Kompas.com


Styrofoam merupakan jenis bahan kimia organik yang tidak bisa terurai oleh alam,

bahaya styrofoam berasal dari butiran-butiran styrene, yang diproses dengan

menggunakan benzana. Benzana inilah yang termasuk zat yang dapat menimbulkan

banyak penyakit. Styrofoam bukan barang yang bisa didaur ulang, seperti gelas,

kertas, atau metal, yang dapat didaur ulang menjadi material mentah untuk dibuat

kembali menjadi barang serupa. Membutuhkan waktu yang sangat lama agar

styrofoam dapat terurai, namun tidak semua partikel penyusunnya dapat terurai

secara sempurna sehingga styrofoam disebut bahan kimia organik yang tidak bisa

terurai oleh alam (Sari dkk., 2019).

Styrofoam mengandung senyawa styrene yang dapat bermigrasi dan berpotensi

mengkontaminasi makanan, dalam kondisi suhu makanan, waktu penyimpanan

makanan, dan jenis makanan tertentu. Semakin tinggi temperatur dan lama

penyimpanan makanan pada kemasan styrofoam, maka semakin tinggi pula tingkat

migrasi senyawa styrene. Kandungan styrene pada styrofoam dapat menyebabkan

gangguan pernafasan, iritasi pada kulit, iritasi pada mata pada tingkat rendah dan

dapat menyebabkan kanker pada penggunaan tingkat tinggi. Perkembangan industri

membawa kemudahan dalam kehidupan, namun di sisi lain menimbulkan

permasalahan lingkungan yang cukup serius, salah satunya akibat penggunaan

olahan plastik seperti styrofoam. Styrofoam banyak digunakan sebagai bahan

pengemas makanan maupun minuman karena sifatnya yang ringan, tahan air, dan

murah. Namun, bahan tersebut sulit diuraikan oleh alam, jika penggunaannya terus

bertambah, hal tersebut dapat menimbulkan pencemaran tanah dan air yang

berdampak negatif terhadap lingkungan. Untuk mengatasi masalah tersebut,

dibutuhkan alternatif yang ramah lingkungan dan dapat terurai secara alami yaitu

biofoam yang berbahan dasar pati. (Chofifa dkk, 2021).

Air cucian beras seringkali dibuang begitu saja saat mencuci beras, air cucian

tersebut masih mengandung banyak senyawa tersuspensi seperti karbohidrat yang

sebagian besar terdiri dari pati sekitar 75%. Kandungan pati terdiri atas amilosa dan

amilopektin yang berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur polimer alami yang

mudah terurai oleh mikroorganisme dan tidak meninggalkan zat berbahaya setelah

terurai. Di dalam beras terkandung beberapa komponen penting bagi manusia


diantaranya karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Beberapa kandungan

gizi beras dan zat pati tertinggi terdapat pada endosperma serta kulit pembungkus

biji. Pada pencucian beras, beberapa komponen tersebut akhirnya ikut terlarut

terbawa (Lestari & Hidayat, 2020).

Dari kandungan nutrisi yang terdapat dalam air cucian beras tersebut maka air

cucian beras memiliki potensi menjadi bahan dasar utama pembuatan biofoam

sebagai inovasi ramah lingkungan untuk menjawab permasalahan sampah

(stryrofoam) yang terus meningkat. Atas dasar inilah penulis membuat karya yang

berjudul ‘‘Pemanfaatan Limbah Air Cucian Beras Sebagai Bahan Dasar Biofoam

Pengganti Styrofoam Ramah Lingkungan”. Pemanfaatan limbah air cucian beras

diperlukan karena tingginya aktivitas pencucian beras setiap harinya dan limbahnya

terbuang begitu saja. Selain itu penggunaan styrofoam setiap harinya dapat

berdampak pada kesehatan, styrofoam juga bersifat non-biodegradable, artinya

tidak dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme di lingkungan. Akibatnya,

limbah styrofoam dapat mencemari tanah dan perairan, serta membutuhkan waktu

yang sangat lama untuk terurai. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran masyarakat

dan upaya pemerintah dalam mendorong penggunaan wadah makanan alternatif

yang lebih ramah lingkungan, seperti kemasan berbahan kertas, daun, atau

bioplastik.


ISI

Masalah pencemaran lingkungan akibat limbah plastik dan styrofoam menjadi

tantangan besar bagi dunia. Kedua bahan tersebut sulit terurai dan dapat mencemari

tanah maupun air dalam jangka panjang. Untuk mengurangi dampak tersebut, para

peneliti mulai mengembangkan biofoam, yaitu bahan kemasan berbasis biopolimer

alami yang bersifat biodegradable atau mudah terurai oleh mikroorganisme.

Biofoam dirancang untuk memiliki karakteristik serupa dengan styrofoam, tetapi

dengan dampak lingkungan yang jauh lebih kecil. Salah satu bahan potensial yang

dapat dimanfaatkan untuk membuat biofoam adalah air cucian beras. Air cucian

beras mengandung amilosa dan amilopektin, dua komponen utama pati yang

berfungsi sebagai biopolimer alami. Dengan memanfaatkan limbah rumah tangga

yang sering terbuang, inovasi ini tidak hanya mengurangi pencemaran, tetapi juga

memberi nilai tambah pada limbah organik. Melalui proses pemanasan dan

pengeringan, air cucian beras dapat diolah menjadi biofoam dengan struktur ringan,

berpori, dan dapat terurai secara hayati di alam (Lestari dkk., 2022).

Konsep ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hevira dkk., (2021),

yang mengembangkan biofoam berbahan dasar ampas tebu. Hasil penelitian

tersebut menunjukkan bahwa biofoam dari bahan alami memiliki daya serap air

yang rendah serta tingkat biodegradabilitas yang tinggi, mencapai 100% dalam

waktu tiga minggu. Penelitian ini memperkuat bukti bahwa bahan-bahan alami

seperti ampas tebu maupun air cucian beras berpotensi besar untuk dikembangkan

sebagai bahan pengganti styrofoam yang ramah lingkungan. Pengembangan

biofoam dari air cucian beras tidak hanya menjadi solusi teknis terhadap limbah

plastik, tetapi juga wujud penerapan ekonomi sirkular dan pembangunan

berkelanjutan. Pemanfaatan limbah organik sebagai bahan dasar produk baru

menciptakan siklus produksi yang lebih efisien dan minim limbah.

Inovasi ini berfokus pada pemanfaatan air cucian beras sebagai bahan dasar

pembuatan biofoam ramah lingkungan dengan penambahan bahan alami sederhana

berupa gliserol, cuka (asam asetat), serta tepung tapioka atau jagung sebagai bahan

opsional. Gliserol berperan sebagai plastisizer yang meningkatkan kelenturan


biofoam, sedangkan cuka berfungsi membantu proses gelatinisasi pati, dan tepung

berkontribusi memperkaya struktur biopolimer. Proses pembuatannya meliputi

pengumpulan dan penyaringan air cucian beras, pemanasan hingga mengental

sambil ditambahkan gliserol dan cuka, kemudian pencetakan dan pengeringan

hingga terbentuk padatan yang siap diuji dari segi ketahanan, kelenturan, dan

tingkat biodegradabilitas. Keunggulan inovasi ini terletak pada penggunaan bahan

yang sepenuhnya alami, murah, mudah diperoleh, serta tidak menghasilkan limbah

berbahaya, sehingga berpotensi diterapkan di laboratorium sekolah maupun

perguruan tinggi (Hakim dkk., 2024).

Hasil dari pembuatan biofoam berbahan dasar air cucian beras ini menghasilkan

material dengan struktur ringan, berpori, serta memiliki sifat yang elastis dan

mudah terurai di lingkungan. Biofoam yang dihasilkan memiliki karakteristik fisik

yang menyerupai styrofoam konvensional, seperti kemampuan melindungi produk

dari benturan dan sifat tahan air dalam batas tertentu, namun jauh lebih ramah

lingkungan karena dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme dalam waktu

yang relatif singkat. Dari segi manfaat, biofoam ini berpotensi digunakan sebagai

bahan kemasan makanan, serta alternatif pengganti styrofoam dalam berbagai

kebutuhan industri dan rumah tangga.

Keunggulan utama dari biofoam berbahan dasar air cucian beras antara lain berasal

dari bahan yang sepenuhnya alami, murah, mudah diperoleh, proses pembuatannya

sederhana, serta tidak menghasilkan limbah berbahaya selama produksi maupun

setelah digunakan dan waktu maksimal yang dibutuhkan untuk biodegradable foam

terurai dalam tanah adalah 6 sampai 9 bulan. Namun demikian, biofoam ini juga

memiliki beberapa kelemahan, seperti ketahanan yang masih lebih rendah

dibandingkan styrofoam sintetis, serta keterbatasan terhadap suhu dan kelembapan

tinggi yang dapat memengaruhi bentuk dan kekuatannya. Meski demikian, dengan

pengembangan formula dan teknologi yang lebih lanjut, biofoam dari air cucian

beras berpotensi menjadi solusi berkelanjutan dalam mengatasi permasalahan

limbah plastik dan mendukung terciptanya lingkungan yang lebih bersih dan sehat

(Hakim dkk., 2024).


PENUTUP

Pemanfaatan limbah air cucian beras sebagai bahan dasar pembuatan biofoam

ramah lingkungan merupakan langkah inovatif yang memiliki nilai ekologis dan

ekonomis tinggi. Inovasi ini tidak hanya memberikan solusi terhadap permasalahan

limbah rumah tangga yang selama ini terbuang sia-sia, tetapi juga menjadi alternatif

nyata dalam mengurangi ketergantungan terhadap styrofoam yang sulit terurai dan

berbahaya bagi kesehatan serta lingkungan. Melalui penerapan teknologi sederhana

dan bahan alami yang mudah diperoleh, biofoam berbasis air cucian beras dapat

menjadi produk berkelanjutan yang mendukung prinsip ekonomi sirkular.

Diharapkan, inovasi ini dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk lebih bijak

dalam mengelola limbah serta mendorong pemerintah, akademisi, dan sektor

industri untuk berkolaborasi dalam mengembangkan dan menerapkan teknologi

ramah lingkungan. 


Ditulis Oleh: 

1. Chintya Ananda (Teknik Lingkungan/2515014044) 

2. Indri Yani (Teknik Sipil/2515011069) 

3. Najwa Amalia (Biologi/2417021017) 

4. Sahvira Okta Viola (IESP/2411021141) 


0 comments:

Posting Komentar

Postingan Populer