PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan peringkat ke 2 setelah Negara China dalam
menghasilkan sampah plastik (styrofoam) sebesar 187,2 ton. Data tersebut juga
selaras dengan data yang dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan dimana hasil dari data tersebut yaitu styrofoam yang dihasilkan selama
kurun waktu 1 tahun sudah menimbulkan timbunan mencapai 10,95 juta buah
sampah. Sampah styrofoam terbesar dihasilkan non rumah tangga sebanyak 11,9
ton per bulan. Sementara, rumah tangga menyumbang sebanyak 9,8 ton per bulan.
Persentase sampah styrofoam mencapai 1,14% dari 12% sampah plastik yang
terkumpul setiap bulannya (Dinanti dkk., 2024).
Berdasarkan data dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah
melakukan penelitian di 18 kota utama Indonesia, sebanyak 270.000 hingga
590.000 ton sampah masuk ke laut Indonesia selama tahun 2018. Dari jumlah
sampah tersebut, didominasi oleh styrofoam. Permintaan kemasan styrofoam di
Indonesia berada di kisaran 700-800 ton per bulan. Banyak pelaku usaha mikro
kecil dan menengah (UMKM) khususnya sektor makanan, menggunakan styrofoam
sebagai makanan karena selain mudah dan praktis, daya tahan terhadap suhu panas
maupun dingin juga menjadi pertimbangan bagi pengguna kemasan ini. Kelebihan
lainnya dari kemasan ini yaitu bahannya yang ringan, anti air, serta tidak gampang
mengalami kerusakan karena suhu panas (Abdullah dkk, 2022). Tidak hanya itu
permasalahan sampah semakin naik setiap tahunnya, dari periode tahun 2017-2025
kenaikan jumlah sampah terutama sampah plastik terus meningkat, namun belum
ada solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Gambar 1. Grafik Penimbunan Sampah di Indonesia 2017-2025
Sumber Kompas.com
Styrofoam merupakan jenis bahan kimia organik yang tidak bisa terurai oleh alam,
bahaya styrofoam berasal dari butiran-butiran styrene, yang diproses dengan
menggunakan benzana. Benzana inilah yang termasuk zat yang dapat menimbulkan
banyak penyakit. Styrofoam bukan barang yang bisa didaur ulang, seperti gelas,
kertas, atau metal, yang dapat didaur ulang menjadi material mentah untuk dibuat
kembali menjadi barang serupa. Membutuhkan waktu yang sangat lama agar
styrofoam dapat terurai, namun tidak semua partikel penyusunnya dapat terurai
secara sempurna sehingga styrofoam disebut bahan kimia organik yang tidak bisa
terurai oleh alam (Sari dkk., 2019).
Styrofoam mengandung senyawa styrene yang dapat bermigrasi dan berpotensi
mengkontaminasi makanan, dalam kondisi suhu makanan, waktu penyimpanan
makanan, dan jenis makanan tertentu. Semakin tinggi temperatur dan lama
penyimpanan makanan pada kemasan styrofoam, maka semakin tinggi pula tingkat
migrasi senyawa styrene. Kandungan styrene pada styrofoam dapat menyebabkan
gangguan pernafasan, iritasi pada kulit, iritasi pada mata pada tingkat rendah dan
dapat menyebabkan kanker pada penggunaan tingkat tinggi. Perkembangan industri
membawa kemudahan dalam kehidupan, namun di sisi lain menimbulkan
permasalahan lingkungan yang cukup serius, salah satunya akibat penggunaan
olahan plastik seperti styrofoam. Styrofoam banyak digunakan sebagai bahan
pengemas makanan maupun minuman karena sifatnya yang ringan, tahan air, dan
murah. Namun, bahan tersebut sulit diuraikan oleh alam, jika penggunaannya terus
bertambah, hal tersebut dapat menimbulkan pencemaran tanah dan air yang
berdampak negatif terhadap lingkungan. Untuk mengatasi masalah tersebut,
dibutuhkan alternatif yang ramah lingkungan dan dapat terurai secara alami yaitu
biofoam yang berbahan dasar pati. (Chofifa dkk, 2021).
Air cucian beras seringkali dibuang begitu saja saat mencuci beras, air cucian
tersebut masih mengandung banyak senyawa tersuspensi seperti karbohidrat yang
sebagian besar terdiri dari pati sekitar 75%. Kandungan pati terdiri atas amilosa dan
amilopektin yang berfungsi sebagai bahan pembentuk struktur polimer alami yang
mudah terurai oleh mikroorganisme dan tidak meninggalkan zat berbahaya setelah
terurai. Di dalam beras terkandung beberapa komponen penting bagi manusia
diantaranya karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Beberapa kandungan
gizi beras dan zat pati tertinggi terdapat pada endosperma serta kulit pembungkus
biji. Pada pencucian beras, beberapa komponen tersebut akhirnya ikut terlarut
terbawa (Lestari & Hidayat, 2020).
Dari kandungan nutrisi yang terdapat dalam air cucian beras tersebut maka air
cucian beras memiliki potensi menjadi bahan dasar utama pembuatan biofoam
sebagai inovasi ramah lingkungan untuk menjawab permasalahan sampah
(stryrofoam) yang terus meningkat. Atas dasar inilah penulis membuat karya yang
berjudul ‘‘Pemanfaatan Limbah Air Cucian Beras Sebagai Bahan Dasar Biofoam
Pengganti Styrofoam Ramah Lingkungan”. Pemanfaatan limbah air cucian beras
diperlukan karena tingginya aktivitas pencucian beras setiap harinya dan limbahnya
terbuang begitu saja. Selain itu penggunaan styrofoam setiap harinya dapat
berdampak pada kesehatan, styrofoam juga bersifat non-biodegradable, artinya
tidak dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme di lingkungan. Akibatnya,
limbah styrofoam dapat mencemari tanah dan perairan, serta membutuhkan waktu
yang sangat lama untuk terurai. Oleh karena itu, diperlukan kesadaran masyarakat
dan upaya pemerintah dalam mendorong penggunaan wadah makanan alternatif
yang lebih ramah lingkungan, seperti kemasan berbahan kertas, daun, atau
bioplastik.
ISI
Masalah pencemaran lingkungan akibat limbah plastik dan styrofoam menjadi
tantangan besar bagi dunia. Kedua bahan tersebut sulit terurai dan dapat mencemari
tanah maupun air dalam jangka panjang. Untuk mengurangi dampak tersebut, para
peneliti mulai mengembangkan biofoam, yaitu bahan kemasan berbasis biopolimer
alami yang bersifat biodegradable atau mudah terurai oleh mikroorganisme.
Biofoam dirancang untuk memiliki karakteristik serupa dengan styrofoam, tetapi
dengan dampak lingkungan yang jauh lebih kecil. Salah satu bahan potensial yang
dapat dimanfaatkan untuk membuat biofoam adalah air cucian beras. Air cucian
beras mengandung amilosa dan amilopektin, dua komponen utama pati yang
berfungsi sebagai biopolimer alami. Dengan memanfaatkan limbah rumah tangga
yang sering terbuang, inovasi ini tidak hanya mengurangi pencemaran, tetapi juga
memberi nilai tambah pada limbah organik. Melalui proses pemanasan dan
pengeringan, air cucian beras dapat diolah menjadi biofoam dengan struktur ringan,
berpori, dan dapat terurai secara hayati di alam (Lestari dkk., 2022).
Konsep ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hevira dkk., (2021),
yang mengembangkan biofoam berbahan dasar ampas tebu. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa biofoam dari bahan alami memiliki daya serap air
yang rendah serta tingkat biodegradabilitas yang tinggi, mencapai 100% dalam
waktu tiga minggu. Penelitian ini memperkuat bukti bahwa bahan-bahan alami
seperti ampas tebu maupun air cucian beras berpotensi besar untuk dikembangkan
sebagai bahan pengganti styrofoam yang ramah lingkungan. Pengembangan
biofoam dari air cucian beras tidak hanya menjadi solusi teknis terhadap limbah
plastik, tetapi juga wujud penerapan ekonomi sirkular dan pembangunan
berkelanjutan. Pemanfaatan limbah organik sebagai bahan dasar produk baru
menciptakan siklus produksi yang lebih efisien dan minim limbah.
Inovasi ini berfokus pada pemanfaatan air cucian beras sebagai bahan dasar
pembuatan biofoam ramah lingkungan dengan penambahan bahan alami sederhana
berupa gliserol, cuka (asam asetat), serta tepung tapioka atau jagung sebagai bahan
opsional. Gliserol berperan sebagai plastisizer yang meningkatkan kelenturan
biofoam, sedangkan cuka berfungsi membantu proses gelatinisasi pati, dan tepung
berkontribusi memperkaya struktur biopolimer. Proses pembuatannya meliputi
pengumpulan dan penyaringan air cucian beras, pemanasan hingga mengental
sambil ditambahkan gliserol dan cuka, kemudian pencetakan dan pengeringan
hingga terbentuk padatan yang siap diuji dari segi ketahanan, kelenturan, dan
tingkat biodegradabilitas. Keunggulan inovasi ini terletak pada penggunaan bahan
yang sepenuhnya alami, murah, mudah diperoleh, serta tidak menghasilkan limbah
berbahaya, sehingga berpotensi diterapkan di laboratorium sekolah maupun
perguruan tinggi (Hakim dkk., 2024).
Hasil dari pembuatan biofoam berbahan dasar air cucian beras ini menghasilkan
material dengan struktur ringan, berpori, serta memiliki sifat yang elastis dan
mudah terurai di lingkungan. Biofoam yang dihasilkan memiliki karakteristik fisik
yang menyerupai styrofoam konvensional, seperti kemampuan melindungi produk
dari benturan dan sifat tahan air dalam batas tertentu, namun jauh lebih ramah
lingkungan karena dapat terurai secara alami oleh mikroorganisme dalam waktu
yang relatif singkat. Dari segi manfaat, biofoam ini berpotensi digunakan sebagai
bahan kemasan makanan, serta alternatif pengganti styrofoam dalam berbagai
kebutuhan industri dan rumah tangga.
Keunggulan utama dari biofoam berbahan dasar air cucian beras antara lain berasal
dari bahan yang sepenuhnya alami, murah, mudah diperoleh, proses pembuatannya
sederhana, serta tidak menghasilkan limbah berbahaya selama produksi maupun
setelah digunakan dan waktu maksimal yang dibutuhkan untuk biodegradable foam
terurai dalam tanah adalah 6 sampai 9 bulan. Namun demikian, biofoam ini juga
memiliki beberapa kelemahan, seperti ketahanan yang masih lebih rendah
dibandingkan styrofoam sintetis, serta keterbatasan terhadap suhu dan kelembapan
tinggi yang dapat memengaruhi bentuk dan kekuatannya. Meski demikian, dengan
pengembangan formula dan teknologi yang lebih lanjut, biofoam dari air cucian
beras berpotensi menjadi solusi berkelanjutan dalam mengatasi permasalahan
limbah plastik dan mendukung terciptanya lingkungan yang lebih bersih dan sehat
(Hakim dkk., 2024).
PENUTUP
Pemanfaatan limbah air cucian beras sebagai bahan dasar pembuatan biofoam
ramah lingkungan merupakan langkah inovatif yang memiliki nilai ekologis dan
ekonomis tinggi. Inovasi ini tidak hanya memberikan solusi terhadap permasalahan
limbah rumah tangga yang selama ini terbuang sia-sia, tetapi juga menjadi alternatif
nyata dalam mengurangi ketergantungan terhadap styrofoam yang sulit terurai dan
berbahaya bagi kesehatan serta lingkungan. Melalui penerapan teknologi sederhana
dan bahan alami yang mudah diperoleh, biofoam berbasis air cucian beras dapat
menjadi produk berkelanjutan yang mendukung prinsip ekonomi sirkular.
Diharapkan, inovasi ini dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk lebih bijak
dalam mengelola limbah serta mendorong pemerintah, akademisi, dan sektor
industri untuk berkolaborasi dalam mengembangkan dan menerapkan teknologi
ramah lingkungan.
Ditulis Oleh:
1. Chintya Ananda (Teknik Lingkungan/2515014044)
2. Indri Yani (Teknik Sipil/2515011069)
3. Najwa Amalia (Biologi/2417021017)
4. Sahvira Okta Viola (IESP/2411021141)
0 comments:
Posting Komentar