Sabtu, 06 Desember 2025

KOPISA PAPER: INOVASI KERTAS BIODEGRADABLE DARI LIMBAH KULIT KOPI DAN PELEPAH PISANG RAMAH LINGKUNGAN

 PENDAHULUAN  

Industri kertas di Indonesia masih sangat bergantung pada bahan baku  kayu, yang sebagian besar diperoleh melalui penebangan hutan alam maupun  hutan tanaman industri. Ketergantungan ini berkontribusi pada laju deforestasi  yang cukup tinggi setiap tahunnya. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan  Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas hutan berhutan di Indonesia pada tahun 2024  tercatat sebesar 95,5 juta hektare, atau sekitar 51,1% dari total daratan, namun  mengalami deforestasi netto sebesar 175,4 ribu hektare pada tahun yang sama.  Berikut data deforestasi Indonesia, Kawasan hutan, dan areal pengguna lain dari  tahun ke tahun : 

Gambar 1. Data Deforestasi Indonesia, Kehutanan, dan Areal Pengguna Lain  (Sumber: kehutanan.go.id

Salah satu faktor yang mendorong hilangnya tutupan hutan tersebut adalah  ekspansi perkebunan bahan baku industri pulp dan kertas, terutama akasia dan  eucalyptus. Menurut laporan Nusantara Atlas (2023), pada tahun 2022 saja tercatat  25.887 hektare hutan primer di Indonesia dikonversi menjadi lahan perkebunan  untuk industri pulp, dan angka ini meningkat menjadi sekitar 28.000 hektare pada  tahun 2023. Deforestasi ini tidak hanya mengancam keberlanjutan hutan tropis  Indonesia, tetapi juga menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati, terutama  pada habitat satwa langka seperti orangutan di Kalimantan dan Sumatra. Selain itu,  konversi lahan gambut untuk perkebunan kayu serat memicu pelepasan karbon dalam jumlah besar, meningkatkan risiko kebakaran hutan, serta memperburuk  kualitas udara dan siklus hidrologi di wilayah sekitarnya (Greenpeace Southeast  Asia, 2020), sehingga pencarian sumber serat alternatif menjadi mendesak.

Salah satu strategi yang muncul adalah memanfaatkan limbah pertanian  kaya serat sebagai pengganti pulp kayu. Dua limbah menjanjikan adalah pelepah pisang (pseudostem pisang) dan kulit kopi. Pelepah pisang tersedia melimpah di  daerah tropis dan seratnya menyerupai karakteristik kayu, sehingga potensial  dijadikan bahan baku kertas. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa pelepah  pisang mengandung selulosa sebanyak 63 -64 %, hemiselulosa sebanyak 20 %,  lignin sebanyak 5%, kekuatan Tarik rata-rata sebesar 600 Mpa, modulus tarik rata 

rata sebesar 17,85 Gpa, angka pertambahan panjangnya 3,36 %, diameter serat 5,8  µm, serta panjang serat 30,9240 cm (Rizky Amelia, Yerizam and Dewi, 2021). Kulit kopi juga merupakan limbah melimpah dari pengolahan kopi dengan  kandungan selulosa sekitar 39% dan terdapat tanin coklat. Oleh karena itu,  kombinasi kedua limbah ini dapat diolah menjadi KOPISA Paper, inovasi kertas  biodegradable yang sekaligus memanfaatkan pigmen alami kulit kopi sebagai  pewarna kertas ramah lingkungan. Pendekatan ini sejalan dengan ekonomi sirkular 

yaitu mengurangi tekanan terhadap hutan dan limbah pertanian sekaligus  menyediakan produk alternatif hijau. 

PEMBAHASAN  

KOPISA Paper merupakan inovasi kertas ramah lingkungan berbasis  limbah pertanian yang bersifat biodegradable, dibuat dari serat pelepah pisang dan  pewarna alami kulit kopi. Inovasi ini menjadi solusi konkret untuk mengurangi  limbah organik sekaligus ketergantungan industri kertas pada bahan baku kayu. 

Pelepah pisang merupakan salah satu limbah pertanian yang memiliki kandungan  serat selulosa tinggi, (63–64%) dan hemiselulosa (20%), dengan sedikit lignin  (~5%) (Ridwan, Ariani and Hensi, 2022). Kandungan selulosa yang tinggi menjadikan pelepah pisang sebagai bahan potensial untuk pembuatan pulp dan  kertas non-kayu.  

Proses pembuatan kertas dari pelepah pisang diawali dengan pencacahan  bahan mentah menjadi potongan kecil lalu dilakukan penjemuran. Potongan ini  kemudian direbus dengan bahan alami banana peel lye (larutan basa dari kulit  pisang) yang terbukti menghasilkan kandungan serat lebih tinggi sebesar 68%  daripada mengguanakan NaOH 10% yang dengan serat sebesar 56% (Musombi, 

Kisato and Wanduara, 2024). Perebusan dilakukan untuk melarutkan lignin dan  hemiselulosa yang mengikat serat selulosa. Proses ini disebut pulping atau  delignifikasi. Setelah direbus selama 2–3 jam, serat yang telah terpisah kemudian  dicuci dengan air hingga pH netral. Setelah perebusan, umumnya pulp diputihkan  dengan larutan hidrogen peroksida namun, karena KOPISA Paper ramah  lingkungan tahap pemutihan dapat diminimalisir dengan air perasan lemon atau  cukup dibersihkan saja dengan air mengalir untuk mempertahankan warna alami  serat yang estetis. Serat selulosa yang telah dibersihkan kemudian dihancurkan  secara mekanis (beating). Penghalusan dilakukan menggunakan blender serat  hingga terbentuk bubur kertas (pulp) untuk meningkatkan kohesi serat,  menghasilkan pulp kertas siap cetak (Vinitha Palause & Niverditha Ajith, 2024). 

Guna menambahkan warna alami, ekstrak pigmen dari kulit kopi  ditambahkan ke pulp. kulit kopi mengandung serat kasar sebesar 18,69%, tanin  2,47%, dan kandungan air yang cukup tinggi yaitu 75-80%. Salah satu  komponennya yaitu tanin berfungsi untuk memberikan kekuatan warna. Terdapat  dua proses untuk memperoleh warna dari kulit kopi kering yaitu, proses perebusan  di mana warna didapat dengan merebus kulit kopi kering dengan air perbandingan  1:1 sehingga warna dari kuit kopi keluar dan tercampur dengan air rebusan lalu  warna didapat dengan memblender kulit kopi kering hingga didapat kekentalan  seperti bubur (Kharishma, Agustin and Baskoro, 2023). Setelah itu ekstrak  pewarna kulit kopi di campur dengan pulp pelepah pisang dengan perbandingan  pulp dan pewarna 3:1 yang menghasilkan keseimbangan terbaik antara kekuatan  kertas, warna alami, dan daya rekat serat. 

Proses mencetak diawali dengan merendam mould dan deckle ke wadah  yang diisi dengan campuran air warna dari kulit kopi dan pulp pelepah pisang.  Penyaring lalu diangkat sehingga campuran bubur kertas akan terbawa pada  cetakan. Perlahan-lahan lalu cetakan digoyangkan pelan sampai air pada cetakan  meniris dan turun kembali ke wadah. Setelah itu lembaran kertas dipres untuk mengeluarkan sisa air dengan menggunakan spons atau kain lalu pindahkan pada  triplek untuk dikeringkan dengan menjemurnya dibawah sinar matahari. Proses ini  menghasilkan kertas alami berwarna berwarna kecoklatan alami yang menambah  estetika produk. Warna cokelat keemasan hingga gelap yang dihasilkan 

menciptakan kesan rustic. Bahkan, Gopinath et al. (2023) mengamati bahwa  kombinasi serat alami dengan pewarna nabati mampu meningkatkan nilai jual  produk hingga 20% di pasar kerajinan karena dianggap lebih eksklusif dan  berkarakter. 

Pengujian mutu kertas menjadi tahap penting untuk menilai keberhasilan  proses pembuatan. Beberapa parameter yang diuji antara lain kekuatan tarik  (tensile strength), ketahanan sobek (tear index), daya serap air (water absorbency),  dan kehalusan permukaan (smoothness). Berdasarkan hasil (Musombi, Kisato and  Wanduara, 2024), kertas dari pelepah pisang memiliki kekuatan tarik rata-rata 25– 35 N/m² dan daya serap air yang cukup baik untuk aplikasi kertas seni maupun  kemasan ramah lingkungan. 

KOPISA Paper menghadirkan inovasi berkelanjutan yang berperan  penting dalam meningkatkan efisiensi sumber daya dan mengubah limbah  pertanian menjadi produk bernilai tinggi, sejalan dengan tujuan Sustainable  Development Goal 12 tentang konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.  Dari sisi sosial, kegiatan produksi berbasis komunitas mampu memberdayakan  masyarakat pedesaan melalui pelatihan pembuatan kertas alami yang  menumbuhkan keterampilan baru dan membuka peluang usaha kecil, (Kurnianingsih, 2024), sejalan dengan (Sagi et al., 2024) yang menyatakan bahwa  serat pisang layak digunakan sebagai bahan baku pulp non-kayu yang kompetitif.  Dari sisi lingkungan, penggunaan serat non-kayu dan pewarna alami dari kulit kopi  membantu mengurangi ketergantungan pada kayu serta menekan pencemaran  akibat bahan kimia sintetis (Kharishma, Agustin and Baskoro, 2023). Selain itu,  Uthami (2024) menegaskan bahwa pemanfaatan pelepah pisang sebagai bahan  pulp dapat mengurangi tekanan terhadap hutan dan emisi karbon dari industri pulp kayu. Selain itu, KOPISA Paper dapat dikembangkan menjadi kertas dekoratif,  kartu ucapan, buku jurnaling, kertas lukis watercolour, kemasan ramah  lingkungan, serta pembungkus makanan. Melalui integrasi nilai sosial, ekonomi,  dan ekologis tersebut, KOPISA Paper bukan sekadar alternatif kertas  konvensional, tetapi simbol transformasi menuju ekonomi sirkular dan pola  produksi berkelanjutan di Indonesia.

KESIMPULAN 

KOPISA Paper merupakan inovasi ramah lingkungan yang memanfaatkan  limbah pelepah pisang dan kulit kopi sebagai bahan dasar pembuatan kertas  alternatif yang berkelanjutan. Melalui pendekatan ekonomi sirkular, inovasi ini  tidak hanya menyelesaikan persoalan limbah pertanian, tetapi juga menghadirkan  solusi nyata terhadap ketergantungan industri kertas pada bahan baku kayu. Proses  pembuatannya sederhana, efisien, dan dapat diterapkan pada skala rumah tangga  maupun komunitas, sehingga mendorong kemandirian ekonomi masyarakat  pedesaan. Dari sisi sosial dan ekonomi, KOPISA Paper membuka peluang  wirausaha hijau, meningkatkan pendapatan, serta memperkuat ekonomi kreatif  lokal. Dari sisi lingkungan, produk ini mengurangi emisi karbon, menekan laju  deforestasi, dan menggantikan penggunaan bahan kimia sintetis dengan pewarna  alami. Dengan karakter serat alami dan nilai estetika tinggi, KOPISA Paper  berpotensi menjadi produk unggulan berbasis limbah yang mendukung Sustainable  Development Goal 12 tentang konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab.  Secara keseluruhan, KOPISA Paper bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan  wujud nyata kolaborasi antara kreativitas, keberlanjutan, dan pemberdayaan  masyarakat menuju masa depan industri hijau Indonesia.



Ditulis Oleh:  

Sovi Verliana 2413021052 

Nadya Liantina 2417011067 

Yoga Dwi Saputra 2415021039 

Ahmad muzaki 2414151063


0 comments:

Posting Komentar

Postingan Populer