PENDAHULUAN
Industri kertas di Indonesia masih sangat bergantung pada bahan baku kayu, yang sebagian besar diperoleh melalui penebangan hutan alam maupun hutan tanaman industri. Ketergantungan ini berkontribusi pada laju deforestasi yang cukup tinggi setiap tahunnya. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), luas hutan berhutan di Indonesia pada tahun 2024 tercatat sebesar 95,5 juta hektare, atau sekitar 51,1% dari total daratan, namun mengalami deforestasi netto sebesar 175,4 ribu hektare pada tahun yang sama. Berikut data deforestasi Indonesia, Kawasan hutan, dan areal pengguna lain dari tahun ke tahun :
Gambar 1. Data Deforestasi Indonesia, Kehutanan, dan Areal Pengguna Lain (Sumber: kehutanan.go.id)
Salah satu faktor yang mendorong hilangnya tutupan hutan tersebut adalah ekspansi perkebunan bahan baku industri pulp dan kertas, terutama akasia dan eucalyptus. Menurut laporan Nusantara Atlas (2023), pada tahun 2022 saja tercatat 25.887 hektare hutan primer di Indonesia dikonversi menjadi lahan perkebunan untuk industri pulp, dan angka ini meningkat menjadi sekitar 28.000 hektare pada tahun 2023. Deforestasi ini tidak hanya mengancam keberlanjutan hutan tropis Indonesia, tetapi juga menyebabkan penurunan keanekaragaman hayati, terutama pada habitat satwa langka seperti orangutan di Kalimantan dan Sumatra. Selain itu, konversi lahan gambut untuk perkebunan kayu serat memicu pelepasan karbon dalam jumlah besar, meningkatkan risiko kebakaran hutan, serta memperburuk kualitas udara dan siklus hidrologi di wilayah sekitarnya (Greenpeace Southeast Asia, 2020), sehingga pencarian sumber serat alternatif menjadi mendesak.
Salah satu strategi yang muncul adalah memanfaatkan limbah pertanian kaya serat sebagai pengganti pulp kayu. Dua limbah menjanjikan adalah pelepah pisang (pseudostem pisang) dan kulit kopi. Pelepah pisang tersedia melimpah di daerah tropis dan seratnya menyerupai karakteristik kayu, sehingga potensial dijadikan bahan baku kertas. Selain itu, penelitian menunjukkan bahwa pelepah pisang mengandung selulosa sebanyak 63 -64 %, hemiselulosa sebanyak 20 %, lignin sebanyak 5%, kekuatan Tarik rata-rata sebesar 600 Mpa, modulus tarik rata
rata sebesar 17,85 Gpa, angka pertambahan panjangnya 3,36 %, diameter serat 5,8 µm, serta panjang serat 30,9240 cm (Rizky Amelia, Yerizam and Dewi, 2021). Kulit kopi juga merupakan limbah melimpah dari pengolahan kopi dengan kandungan selulosa sekitar 39% dan terdapat tanin coklat. Oleh karena itu, kombinasi kedua limbah ini dapat diolah menjadi KOPISA Paper, inovasi kertas biodegradable yang sekaligus memanfaatkan pigmen alami kulit kopi sebagai pewarna kertas ramah lingkungan. Pendekatan ini sejalan dengan ekonomi sirkular
yaitu mengurangi tekanan terhadap hutan dan limbah pertanian sekaligus menyediakan produk alternatif hijau.
PEMBAHASAN
KOPISA Paper merupakan inovasi kertas ramah lingkungan berbasis limbah pertanian yang bersifat biodegradable, dibuat dari serat pelepah pisang dan pewarna alami kulit kopi. Inovasi ini menjadi solusi konkret untuk mengurangi limbah organik sekaligus ketergantungan industri kertas pada bahan baku kayu.
Pelepah pisang merupakan salah satu limbah pertanian yang memiliki kandungan serat selulosa tinggi, (63–64%) dan hemiselulosa (20%), dengan sedikit lignin (~5%) (Ridwan, Ariani and Hensi, 2022). Kandungan selulosa yang tinggi menjadikan pelepah pisang sebagai bahan potensial untuk pembuatan pulp dan kertas non-kayu.
Proses pembuatan kertas dari pelepah pisang diawali dengan pencacahan bahan mentah menjadi potongan kecil lalu dilakukan penjemuran. Potongan ini kemudian direbus dengan bahan alami banana peel lye (larutan basa dari kulit pisang) yang terbukti menghasilkan kandungan serat lebih tinggi sebesar 68% daripada mengguanakan NaOH 10% yang dengan serat sebesar 56% (Musombi,
Kisato and Wanduara, 2024). Perebusan dilakukan untuk melarutkan lignin dan hemiselulosa yang mengikat serat selulosa. Proses ini disebut pulping atau delignifikasi. Setelah direbus selama 2–3 jam, serat yang telah terpisah kemudian dicuci dengan air hingga pH netral. Setelah perebusan, umumnya pulp diputihkan dengan larutan hidrogen peroksida namun, karena KOPISA Paper ramah lingkungan tahap pemutihan dapat diminimalisir dengan air perasan lemon atau cukup dibersihkan saja dengan air mengalir untuk mempertahankan warna alami serat yang estetis. Serat selulosa yang telah dibersihkan kemudian dihancurkan secara mekanis (beating). Penghalusan dilakukan menggunakan blender serat hingga terbentuk bubur kertas (pulp) untuk meningkatkan kohesi serat, menghasilkan pulp kertas siap cetak (Vinitha Palause & Niverditha Ajith, 2024).
Guna menambahkan warna alami, ekstrak pigmen dari kulit kopi ditambahkan ke pulp. kulit kopi mengandung serat kasar sebesar 18,69%, tanin 2,47%, dan kandungan air yang cukup tinggi yaitu 75-80%. Salah satu komponennya yaitu tanin berfungsi untuk memberikan kekuatan warna. Terdapat dua proses untuk memperoleh warna dari kulit kopi kering yaitu, proses perebusan di mana warna didapat dengan merebus kulit kopi kering dengan air perbandingan 1:1 sehingga warna dari kuit kopi keluar dan tercampur dengan air rebusan lalu warna didapat dengan memblender kulit kopi kering hingga didapat kekentalan seperti bubur (Kharishma, Agustin and Baskoro, 2023). Setelah itu ekstrak pewarna kulit kopi di campur dengan pulp pelepah pisang dengan perbandingan pulp dan pewarna 3:1 yang menghasilkan keseimbangan terbaik antara kekuatan kertas, warna alami, dan daya rekat serat.
Proses mencetak diawali dengan merendam mould dan deckle ke wadah yang diisi dengan campuran air warna dari kulit kopi dan pulp pelepah pisang. Penyaring lalu diangkat sehingga campuran bubur kertas akan terbawa pada cetakan. Perlahan-lahan lalu cetakan digoyangkan pelan sampai air pada cetakan meniris dan turun kembali ke wadah. Setelah itu lembaran kertas dipres untuk mengeluarkan sisa air dengan menggunakan spons atau kain lalu pindahkan pada triplek untuk dikeringkan dengan menjemurnya dibawah sinar matahari. Proses ini menghasilkan kertas alami berwarna berwarna kecoklatan alami yang menambah estetika produk. Warna cokelat keemasan hingga gelap yang dihasilkan
menciptakan kesan rustic. Bahkan, Gopinath et al. (2023) mengamati bahwa kombinasi serat alami dengan pewarna nabati mampu meningkatkan nilai jual produk hingga 20% di pasar kerajinan karena dianggap lebih eksklusif dan berkarakter.
Pengujian mutu kertas menjadi tahap penting untuk menilai keberhasilan proses pembuatan. Beberapa parameter yang diuji antara lain kekuatan tarik (tensile strength), ketahanan sobek (tear index), daya serap air (water absorbency), dan kehalusan permukaan (smoothness). Berdasarkan hasil (Musombi, Kisato and Wanduara, 2024), kertas dari pelepah pisang memiliki kekuatan tarik rata-rata 25– 35 N/m² dan daya serap air yang cukup baik untuk aplikasi kertas seni maupun kemasan ramah lingkungan.
KOPISA Paper menghadirkan inovasi berkelanjutan yang berperan penting dalam meningkatkan efisiensi sumber daya dan mengubah limbah pertanian menjadi produk bernilai tinggi, sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goal 12 tentang konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. Dari sisi sosial, kegiatan produksi berbasis komunitas mampu memberdayakan masyarakat pedesaan melalui pelatihan pembuatan kertas alami yang menumbuhkan keterampilan baru dan membuka peluang usaha kecil, (Kurnianingsih, 2024), sejalan dengan (Sagi et al., 2024) yang menyatakan bahwa serat pisang layak digunakan sebagai bahan baku pulp non-kayu yang kompetitif. Dari sisi lingkungan, penggunaan serat non-kayu dan pewarna alami dari kulit kopi membantu mengurangi ketergantungan pada kayu serta menekan pencemaran akibat bahan kimia sintetis (Kharishma, Agustin and Baskoro, 2023). Selain itu, Uthami (2024) menegaskan bahwa pemanfaatan pelepah pisang sebagai bahan pulp dapat mengurangi tekanan terhadap hutan dan emisi karbon dari industri pulp kayu. Selain itu, KOPISA Paper dapat dikembangkan menjadi kertas dekoratif, kartu ucapan, buku jurnaling, kertas lukis watercolour, kemasan ramah lingkungan, serta pembungkus makanan. Melalui integrasi nilai sosial, ekonomi, dan ekologis tersebut, KOPISA Paper bukan sekadar alternatif kertas konvensional, tetapi simbol transformasi menuju ekonomi sirkular dan pola produksi berkelanjutan di Indonesia.
KESIMPULAN
KOPISA Paper merupakan inovasi ramah lingkungan yang memanfaatkan limbah pelepah pisang dan kulit kopi sebagai bahan dasar pembuatan kertas alternatif yang berkelanjutan. Melalui pendekatan ekonomi sirkular, inovasi ini tidak hanya menyelesaikan persoalan limbah pertanian, tetapi juga menghadirkan solusi nyata terhadap ketergantungan industri kertas pada bahan baku kayu. Proses pembuatannya sederhana, efisien, dan dapat diterapkan pada skala rumah tangga maupun komunitas, sehingga mendorong kemandirian ekonomi masyarakat pedesaan. Dari sisi sosial dan ekonomi, KOPISA Paper membuka peluang wirausaha hijau, meningkatkan pendapatan, serta memperkuat ekonomi kreatif lokal. Dari sisi lingkungan, produk ini mengurangi emisi karbon, menekan laju deforestasi, dan menggantikan penggunaan bahan kimia sintetis dengan pewarna alami. Dengan karakter serat alami dan nilai estetika tinggi, KOPISA Paper berpotensi menjadi produk unggulan berbasis limbah yang mendukung Sustainable Development Goal 12 tentang konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab. Secara keseluruhan, KOPISA Paper bukan sekadar inovasi teknologi, melainkan wujud nyata kolaborasi antara kreativitas, keberlanjutan, dan pemberdayaan masyarakat menuju masa depan industri hijau Indonesia.
Ditulis Oleh:
Sovi Verliana 2413021052
Nadya Liantina 2417011067
Yoga Dwi Saputra 2415021039
Ahmad muzaki 2414151063
0 comments:
Posting Komentar