PENDAHULUAN
Sektor pertanian memiliki peranan vital dalam menopang perekonomian nasional dan menjaga ketahanan pangan di Indonesia, terutama di wilayah pedesaan. Selain menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat desa, sektor ini juga berkontribusi besar terhadap penyediaan lapangan kerja dan sumber pendapatan utama bagi jutaan penduduk. Namun, sayangnya, meskipun menjadi sektor dengan penyerapan tenaga kerja terbesar, desa-desa di Indonesia masih menghadapi krisis pengangguran yang cukup tinggi, khususnya di kalangan remaja. Data Badan Pusat Statistik (2024) menunjukkan bahwa tingkat pengangguran pemuda di pedesaan masih berada pada angka yang mengkhawatirkan dan cenderung stagnan dari tahun ke tahun.
Salah satu penyebab utama kondisi ini adalah menurunnya minat generasi muda terhadap dunia pertanian. Bagi sebagian besar remaja desa, pertanian konvensional dipandang sebagai pekerjaan yang monoton, padat tenaga, dan kurang memberikan nilai tambah ekonomi maupun pengakuan sosial (Rahman & Putri, 2023). Pandangan tersebut memunculkan sikap apatis serta rendahnya motivasi untuk berkontribusi di bidang pertanian. Akibatnya, regenerasi petani muda melemah, sementara potensi besar pertanian desa belum tergarap secara optimal.
Di sisi lain, perkembangan teknologi digital kini membuka peluang baru untuk mengubah wajah pertanian desa. Digitalisasi pertanian tidak hanya menawarkan efisiensi melalui penggunaan aplikasi pertanian cerdas, drone pemantau lahan, dan sistem manajemen tanam otomatis, tetapi juga menghadirkan daya tarik baru bagi generasi muda yang tumbuh dalam budaya teknologi (Aliu, 2024). Transformasi ini menjadikan pertanian bukan lagi sekadar kegiatan tradisional, melainkan ekosistem modern yang berorientasi pada inovasi, produktivitas, dan keberlanjutan.
Berangkat dari tantangan dan peluang tersebut, lahirlah gagasan Desa Re:Grow sebagai konsep revolusioner yang berfokus pada pemberdayaan remaja desa melalui integrasi teknologi digital dan semangat kewirausahaan. Program ini bertujuan menciptakan ekosistem pertanian modern yang inklusif dan
berkelanjutan, sekaligus menumbuhkan generasi muda desa yang kreatif, adaptif, dan mandiri. Dengan memadukan potensi sumber daya alam pedesaan dan inovasi teknologi, Desa Re:Grow diharapkan mampu menjadi motor penggerak perubahan menuju pertanian yang lebih produktif serta berperan penting dalam menekan angka pengangguran pemuda di Indonesia.
PEMBAHASAN
Desa Re:Grow merupakan program pemberdayaan terstruktur yang dirancang untuk mengintegrasikan teknologi digital ke dalam sistem pertanian dengan fokus utama pada peningkatan kapasitas remaja desa. Program ini menawarkan serangkaian kegiatan mulai dari pelatihan keterampilan digital, penggunaan alat pertanian canggih seperti drone pemantau lahan dan sensor tanah, hingga pembekalan pengelolaan usaha tani modern dan strategi pemasaran digital (Aliu, 2024). Tujuannya bukan sekadar menjadikan remaja sebagai tenaga kerja di sektor pertanian, melainkan melatih mereka menjadi wirausahawan pertanian muda yang memiliki kemampuan manajerial, inovatif, dan berdaya saing tinggi. Melalui penerapan sistem pertanian digital, Desa Re:Grow diharapkan dapat menciptakan ekosistem pertanian yang lebih efisien dan produktif. Penggunaan data berbasis sensor, pemantauan lahan melalui drone, serta analisis digital memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih cepat dan akurat dalam proses budidaya, pengairan, maupun panen (Rahman & Putri, 2023). Dengan demikian, remaja desa tidak hanya dilatih untuk mengelola lahan, tetapi juga memahami aspek ekonomi, teknologi, dan pemasaran pertanian secara terpadu. Program Desa Re:Grow tidak hanya berorientasi pada transfer teknologi, tetapi juga pada transformasi sosial-ekonomi pedesaan. Di tengah menurunnya minat generasi muda terhadap pertanian konvensional yang dianggap monoton dan minim nilai tambah (Rahman & Putri, 2023), digitalisasi pertanian menjadi jalan baru untuk membangun citra pertanian yang modern, dinamis, dan bernilai ekonomi tinggi.
Perkembangan teknologi digital telah menghadirkan berbagai inovasi, seperti smart farming, sistem irigasi otomatis, dan pemantauan lahan berbasis sensor, yang secara nyata mampu meningkatkan efisiensi serta hasil panen (Aliu, 2024). Melalui aplikasi pertanian digital dan pemanfaatan e-commerce, hasil panen dapat dipasarkan lebih luas tanpa bergantung pada tengkulak atau pasar tradisional. Hal ini sejalan dengan laporan CropLife Indonesia (2025), yang menunjukkan bahwa pemanfaatan teknologi digital dalam rantai pasok pertanian dapat meningkatkan pendapatan petani hingga 30% dan memperluas akses pasar hingga ke skala nasional dan internasional. Dengan demikian, Desa Re:Grow menjadi motor perubahan sosial yang menghubungkan antara generasi muda, inovasi teknologi, dan penguatan ekonomi desa. Program ini menumbuhkan kepercayaan diri remaja desa untuk berperan sebagai agen pembangunan yang produktif, mandiri, dan kompetitif.
Untuk memahami potensi dan tantangan implementasi Desa Re:Grow, analisis SWOT memberikan gambaran menyeluruh terhadap kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman program, yaitu:
1. Kekuatan (Strengths):
a. Pemanfaatan teknologi pertanian modern yang relevan dengan karakter generasi muda.
b. Model pemberdayaan holistik yang menggabungkan pelatihan teknis, literasi digital, dan pengembangan kewirausahaan.
c. Pembentukan komunitas petani milenial yang menjadi pusat inovasi dan berbagi pengetahuan antaranggota.
2. Kelemahan (Weaknesses):
a. Ketergantungan pada infrastruktur digital yang belum merata di seluruh wilayah pedesaan
b. Biaya investasi awal untuk perangkat seperti drone, sensor tanah, dan sistem otomatisasi yang masih cukup tinggi
c. Rendahnya literasi digital masyarakat yang memperlambat adaptasi terhadap teknologi baru
3. Peluang (Opportunities):
a. Dukungan kebijakan pemerintah terhadap transformasi digital sektor pertanian melalui program Smart Village dan Pertanian 4.0 (Rivo Nugroho, 2025)
b. Potensi pasar digital nasional dan global yang semakin terbuka untuk produk-produk pertanian lokal berkualitas.
c. Kemungkinan kerja sama dengan universitas dan perusahaan teknologi untuk riset serta pengembangan inovasi pertanian.
4. Ancaman (Threats):
a. Adanya resistensi budaya terhadap penerapan teknologi modern yang dianggap mengancam tradisi lokal.
b. Ketidakpastian iklim yang memengaruhi produktivitas lahan pertanian (Nurarifin, 2025).
c. Persaingan dengan produk impor yang memiliki daya saing harga dan kualitas tinggi.
Melalui pemetaan SWOT ini, Desa Re:Grow dapat merancang strategi adaptif agar implementasinya tetap efektif dalam berbagai kondisi sosial, ekonomi, dan lingkungan desa.
Pelaksanaan Desa Re:Grow mengikuti pendekatan sistematis dan partisipatif yang menempatkan masyarakat desa sebagai aktor utama. Adapun tahapan pelaksanaan terdiri dari:
1. Survei kebutuhan dan potensi desa, untuk menilai kondisi sosial, sumber daya alam, dan kesiapan masyarakat
2. Sosialisasi dan pembentukan komunitas petani milenial, guna menciptakan rasa kepemilikan dan kolaborasi
3. Pembangunan infrastruktur digital, termasuk penyediaan jaringan internet dan distribusi perangkat teknologi
4. Pelatihan literasi digital dan kewirausahaan pertanian, yang mencakup penggunaan alat, manajemen usaha, serta pemasaran berbasis digital; 5. Fasilitasi akses modal, melalui kerja sama dengan lembaga keuangan mikro dan program pembiayaan pemerintah
6. Pengembangan pemasaran digital, lewat e-commerce dan media sosial untuk memperluas jaringan pasar
7. Monitoring dan evaluasi berkelanjutan, untuk memastikan peningkatan kapasitas dan keberlanjutan program
Pendekatan ini memastikan setiap tahapan saling terhubung, membentuk siklus pemberdayaan yang berkelanjutan.
Program Desa Re:Grow membawa dampak signifikan terhadap pemberdayaan remaja desa, pengurangan pengangguran, dan peningkatan produktivitas pertanian nasional (Rivo Nugroho, 2025). Melalui pelatihan dan akses modal yang dikombinasikan dengan pemanfaatan teknologi digital, remaja mampu mengelola usaha tani yang efisien, berbasis data, dan responsif terhadap kebutuhan pasar.
Untuk menjamin keberlanjutan, program ini mengedepankan pembentukan komunitas petani milenial mandiri yang adaptif terhadap perubahan teknologi dan dinamika ekonomi. Kolaborasi multipihak menjadi pondasi utama:
1. Pemerintah daerah berperan dalam penyediaan regulasi, infrastruktur, dan fasilitasi pembiayaan
2. Perusahaan teknologi memberikan dukungan teknis dan pelatihan perangkat digital pertanian
3. Lembaga keuangan mikro menyediakan akses modal bagi petani muda
Dengan pendekatan kolaboratif ini, Desa Re:Grow membentuk ekosistem inovasi yang dinamis, memperkuat kapasitas sumber daya manusia desa, dan menumbuhkan keberlanjutan jangka panjang dalam sektor pertanian.
Secara strategis, Desa Re:Grow menargetkan penurunan angka pengangguran remaja desa hingga 30% dalam tiga tahun pertama, serta peningkatan pendapatan petani muda sebesar 25% melalui optimalisasi teknologi digital. Program ini juga diharapkan mampu membekali sedikitnya 200 remaja desa dengan keterampilan digital dan kewirausahaan berbasis pertanian. Lebih luas lagi, keberhasilan Desa Re:Grow mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), terutama poin ke-2 (Zero Hunger), ke-8 (Decent Work and Economic Growth), dan ke-9 (Industry, Innovation, and Infrastructure). Program ini memperkuat ketahanan pangan, meningkatkan produktivitas desa, dan mendorong modernisasi pertanian berkelanjutan di Indonesia. Dengan demikian, Desa Re:Grow bukan hanya inisiatif pemberdayaan remaja, tetapi juga
gerakan nasional menuju transformasi digital pertanian desa, yang berpotensi memperkuat kemandirian ekonomi dan masa depan pangan Indonesia.
PENUTUP
Desa Re:Grow merupakan model inovasi yang secara fundamental mengubah paradigma pertanian pedesaan melalui integrasi teknologi digital dan pemberdayaan sumber daya manusia muda sebagai fondasi pembangunan berkelanjutan. Program ini tidak hanya menitikberatkan pada peningkatan produktivitas pertanian, tetapi juga pada transformasi pola pikir generasi muda terhadap sektor agraria sebagai bidang yang menjanjikan, modern, dan bernilai ekonomi tinggi. Dengan menggandeng berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, perguruan tinggi, sektor swasta, hingga masyarakat desa, Desa Re:Grow menciptakan ekosistem kolaboratif yang memungkinkan transfer pengetahuan, pelatihan teknis, serta akses terhadap teknologi dan pasar digital. Melalui sinergi tersebut, remaja desa tidak lagi diposisikan sebagai pencari kerja, melainkan sebagai agen perubahan dan pelaku utama dalam pembangunan ekonomi lokal.
Keberhasilan dan keberlanjutan program ini diharapkan membawa dampak positif jangka panjang dalam menekan angka pengangguran remaja, meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat, serta memperkuat ketahanan pangan nasional. Lebih dari itu, Desa Re:Grow menjadi simbol kebangkitan desa-desa Indonesia menuju kemandirian dan kemajuan yang inklusif, di mana teknologi dan kreativitas generasi muda menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
0 comments:
Posting Komentar