Sabtu, 16 Desember 2023

PARADIGMA FOLKLOR: MENGGAGAS MODERASI PENDIDIKAN KEARIFAN LOKAL

Pendahuluan

Indonesia merupakan negara terbesar di Asia Tenggara dengan memiliki 3.000

pulau, 700 bahasa dengan lima rumpun suku yang berbeda, serta jumlah penduduk yang

lebih dari 200 juta jiwa. Terdapat pelbagai istilah yang disematkan bagi Indonesia,

seperti; keberagaman, kemajemukan, pluralisme, serta multikultralisme, di mana istilah

tersebut merujuk pada kesamaan makna. Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam

dan telah mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam konteks ini, hal itu

terkait dengan kearifan lokal (local wisdom) sebagai simbolisasi budaya.

Tataran budaya di Indonesia tercermin keaneragaman yang konstruktif dan

struktural. Termasuk tradisi lisan setempat, atau yang dikenal dengan istilah folklor.

Esensial folklor menunjukkan kebudayaan yang bersifat kolektif, yang tersebar dan

diwariskan secara turun-menurun. Hal itu dilakukan dengan cara penuturan ulang

(repetitive style) (Sukatman, 2011). Dalam disertasi Dr. Sutarto (1991) di Universitas

Indonesia yang berjudul “Legenda Kasada dan Karo Orang Tengger Lumajang:

Dokumentasi Historis, Analisis Morfologi dan Etnografis untuk Mengetahui Konvensi

dan Fungsinya,” telah menggambarkan kajian folklor modern yang bersifat holistik

(Pudentia, 2015). Secara potensial, kajian holistik tersebut dapat dijadikan alternatif

dalam pendidikan sebagai pembangunan kebudayaan.

Pendidikan tidak hanya mencakup proses transfer dan transmisi ilmu

pengetahuan, tetapi juga merupakan proses yang sangat strategis dalam menanamkan

nilai dalam rangka pembudayaan anak manusia (Fedyani ed., 2008). Pembudayaan

tersebut dalam rangka mempertahankan dan menjaga nilai-nilai kearifan lokal.

Implementasi nilai-nilai folklor dalam pendidikan merupakan sarana dalam

pembangunan nasional dengan mengedapankan nilai-nilai kearifan lokal. Selain itu,

pendidikan sebagai pranata pembangunan nasional perlu pengembangan secara

kompleks di era globalisasi, sehingga terwujudnya folklor dalam pendidikan menjadi

harapan baru. Menurut Akh. Muwafik Saleh (2012), dimensi masa lampau yang dimiliki

folklor menjadi pembelajaran yang terbaik untuk melangkah di masa depan.


ISI

Folklor dalam pendidikan menjadi resolusi untuk mencerminkan dan menjaga

kearifan lokal. Lebih jauh lagi, di era globalisasi folklor diharapkan akan mampu

menjadikan pendidikan yang moderat, sehingga tidak terpengaruh arus negatif dari

perkembangan globalisasi yang semakin pesat. Oleh sebab itu, folklor dan pendidikan

perlu dikembangan dan sinergikan secara bersama-sama. Dalam hal ini, dapat dilakukan

dengan upaya yang strategis dan konstruktif, yakni dengan menekankan aspek moderasi

pada implementasi dan output yang dihasilkan bagi generasi bangsa.


Folklor dalam Khazanah Kearifan Lokal

Secara etimologi, kata folklor berasal dari bahasa Inggris, yakni folklore.

Namun, folklore sendiri berasal dari dua kata, yaitu folk yang berarti sekumpulan

individu yang memiliki kesamaan (colectivity). Sedangkan, lore yang berarti sebagian

kebudayaan yang diwariskan dari sekelompok yang sama tersebut. Folklor dapat

diartikan sebagai produk budaya kolektif tetentu, yang diwariskan melalui lisan maupun

alat bantu lisan (Pudentia, 2015). Menurut Natalis Pakage dan Titus Pekei (2013),

folklor tumbuh beriringan dengan berkembangnya kehidupan masyrakat suku bangsa itu

sendiri. Dalam hal ini, folklor adalah salahsatu budaya Indonesia. Hal itu dikarenakan

folklor memiliki kecenderungan kepada aspek lokalitas yang ada di masyarakat di

Indonesia.

Terkait dengan kebudayaan, menurut Koentjaraningrat (1965) sebagaimana

dikutip oleh Pudentia (2015), ada tiga aspek dalam kebudayaan, yakni; kebudayaan

sebagai tata kelakuan, kebudayaan sebagai kelakuan manusia, dan kebudayaan sebagai

hasil kelakuan(kebiasaan) manusia. Aspek pertama menjadi aspek paling penting. Hal

itu dikarenakan tata kelakuan telah menjadi pedoman. Aspek kedua merupakan

pendukung aspek pertama. Sedangakan, aspek ketiga sebagai hasil dari sinergisitas

kedua aspek. Dalam proses pembangunan juga demikian, perilaku pembangunan hanya

dapat terbentuk apabila adanya tata kelakuan yang telah bersifat kebiasaan, serta lebih

jauh lagi bersifat pembangunan pula.


Tata kelakuan tersebut bisa diartikan sebagai norma-norma kolektif, aturan-

aturan yang tak tertulis dalam mayarakat Indonesia yang secara tidak langsung

mempengaruhi hasilnya, yaitu perilaku masyarakat. Dalam hal ini, folklor termasuk

hasil dari tata kelakuan. Kemudian folklor menjadi simblosisasi yang bersifat lokalitas.

Misalnya, di Jawa Tengah terdapat “Legenda Candi Sewu”, di Kalimantan terdapat

“Sangi Pemburu dari Mahorai”, di Padang terdapat cerita tentang “Malin Kundang”,

serta masih banyak lagi cerita-cerita rakyat dan belum termasuk pribahasa-pribahasa

yang sudah lekat di masyarakat Indonesia.

Folklor menjadi sebuah refleksi kebudayaan yang telah mewakili tata kelakuan

masyarakat lokal tertentu. Urgensi nilai-nilai yang ingin disampaikan pun juga termasuk

dalam tata kelakuan masyarakat setempat. Hal ini memungkinkan untuk

menginternalisasikan nilai dan norma yang ada di suatu tempat. Sederhananya, folklor

dapat memberikan sosialisasi mengenai budaya-budaya dan norma-norma dalam

masyarakat. Dengan folklor, masyarakat dapat mengetahui dan memahami budaya yang

ada. Oleh sebab itu, hal folklor dinyatakan sebagai khazanah kearifan lokal. Meskipun

setiap daerah berbeda, tetapi sejatinya folklor menjadi simbolisasi yang melekat kuat

dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat.

Khazanah yang dimiliki folklor menjadi cerminan dalam sebuah masyarakat,

termasuk karakter masyarakat itu sendiri. Dalam konteks kebangsaan, esensial folklor

sangat penting dalam menjaga stabilitas kemasyarakatan. Hal itu dikarenakan, dalam

konteks sejarah berdirinya bangsa ini, maka tidak bisa dilepaskan dari pengaruh folklor

yang telah berkembang di masyarakat saat ini. Oleh sebab itu, perlunya pembudayaan.

folklor dalam rangka menjaga budaya, khususnya budaya kebangsaan dengan kultur

kearifan lokalnya.


Multikulturalisme: Distingsi Pendidikan Kearifan Lokal

Dewasa ini, telah terjadi krisis multidimensi di negara ini. Hal itu berkaitan

dengan maraknya kekacauan, kekerasan, kemiskinan, teror, kebodohan, pengangguran,

korupsi, dan sebagainya, sehingga mengancam stabilitas bangsa dan negara (Kharlie

ed., 2012). Terjadinya hal itu disebabkan gagalnya menciptakan karakter dalam

pendidikan. Padahal, sejatinya pendidikan merupakan upaya memanusiakan manusia.

Artinya, pendidikan berperan penting dalam menciptakan karakter yang secara nyata

berdampak positif.

Menurut H.A.R Tilaar (2009), pendidikan merupakan proses pembudayaan,

tetapi pendidikan perlu mendasarkan pada aspek kebudayaan. Bahkan, menurut Ahmad

Tholabi Kharlie ed. (2012), pendidikan sebagai proses transformasi sistem sosial budaya

dari satu generasi ke generasi yang lain. Antara pendidikan dan kebudayaan merupakan

satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Pendidikan tanpa kebudayaan hanya akan

menjadi wacana yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Begitupun kebudayaan tanpa

pendidikan juga akan berdampak pada minimnya pengetahuan akan kebudayaan itu.

Oleh sebab itu, tidak ada kebudayaan tanpa pendidikan dan begitu pula praksis

pendidikan selalu dalam lingkup kebudayaan.

Pendidikan multikultural menjadi sebuah solusi dalam krisis multidimensi.

Dalam konteks keindonesiaan, pendidikan multikultural lebih tepat dipandang sebagai

pendekatan, yaitu pendekatan pendidikan yang mengupayakan nilai-nilai budaya

kedaerahan (suku bangsa) dan agama di Indonesia dapat dipahami, dihargai, dan

dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan kebangsaan dan kewarganegaraan

berlandaskan “bhinneka tunggal ika” dan falsafah Pancasila, dengan mengedepankan

toleransi dan kerukunan antar budaya (Amirin, 2012). Pendidikan multikultural lebih

menekankan pada aspek lokalitas. Hal ini tentunya berkaitan dengan budaya yang ada

didalamnya, termasuk aspek kearifan lokal (local wisdom).

Esensial kearifan lokal secara tidak langsung berpengaruh pada pembangunan

karakter (character building). Disisi lain, lahirnya pendidikan bermakna deliberatif.

Artinya, setiap masyarakat berusaha mentransmisikan gagasan fundamental yang

berkaitan dengan hakikat dunia, pengetahuan, dan nilai-nilai yang dianutnya. Hal inilah

menurut Chaidar Alwasih (2009) dapat melahirkan etnopedagogi, yaitu praktik

pendidikan berbasis kearifan lokal. Kearifan lokal dapat dipahami sebagai

kebijaksanaan atau nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya lokal, berupa tradisi,

pepatah-petitih, serta semboyan hidup.

Pendidikan berbasis kearifan lokal merupakan pendidikan yang mengajarkan

kepada peserta didik untuk selalu dekat dengan lingkungan sekitarnya. Dengan kata

lain, pendidikan kearifan lokal sebagai sebuah model pendidikan yang mempunyai

relevansi terhadap pengembangan kecakapan hidup dengan berpijak pada potensi lokal

atau nilai-nilai luhur yang terdapat pada tiap-tiap daerah (Kharlie ed., 2012).

Keberagaman kearifan lokal yang dimiliki Indonesia juga memberikan kultur

kedaerahan antar masing-masing lokal. Namun, pada dasarnya kearifan lokal bangsa

Indonesia telah tercermin dalam falsafah Pancasila. Meskipun, masyarakat Indonesia

mengekspresikannya dengan cara yang beragam.

Multikuluturalisme dalam pendidikan yang didasarkan pada kearifan lokal perlu

pengembangan secara lebih kompleks. Selain itu, kesadaran akan pentingnya lokalitas

juga harus dikuatkan, sehingga akan dapat berimplikasi pada pendidikan berbasis

kearifan lokal. Wawasan kearifan lokal dalam perspektif pendidikan diharapkan akan

mampu menciptakan pendidikan karakter bagi generasi bangsa. Lebih jauh lagi,

berdampak pada terealisasikannya aspek humanisasi dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara.

Redesain Folklor dalam Menjaga Moderasi Pendidikan Kearifan Lokal

Pendidikan kearifan lokal merupakan apresiasi dalam menjaga dan melestarikan nilai-

nilai kebudayaan, termasuk implementasi folklor dalam pendidikan. Nilai-nilai kearifan

lokal pada folklor menunjukkan keteladanan yang secara tidak langsung memiliki

pengaruh terhadap pendidikan anak. Selain itu, menurut Ipriansyah (2011), folklor juga

memiliki nilai-nilai positif yang berguna bagi perkembangan anak, sehingga dapat

membantu perkembangan kognitif, seperti; bahasa dan pemikiran, serta sosio-emosional

anak. Untuk mewujudkan implementasi folklor dalam pendidikan dapat dilakukan

dengan beberapa upaya yang strategis.


Pertama, memanfaatkan fungsi lembaga keluarga. Hal ini sebagai respon

terhadap keluarga untuk diberdayakan kembali. Hubungan yang kuat antara anggota

keluarga menjadi katalisator dalam implementasi pendidikan berbasis folklor. Orang tua

memiliki kewajiban untuk memberikan nasihat terhadap anaknya. Hal itu apabila

dilakukan secara masif, maka akan berdampak pada anak. Selain itu, orang tua juga

berperan penting dalam pembentukan karakter anak sejak dini (Saleh, 2012).

Menurut Chukovsky (1968), sebagaimana dikutip oleh Murti Bunanta (1998),

cerita rakyat bagi anak-anak dianalogikan sebagai makanan pokok bagi perkembangan

dan pertumbuhan. Oleh sebab itu, implementasi pada keluarga dapat dilakukan dengan

media bercerita tentang cerita rakyat yang dilakukan sebelum tidur, atau disaat

berkumpul dan bersantai bersama keluarga. Cerita rakyat berperan membentuk

kepribadian anak, karena didalamnya terdapat nasihat. Namun, pesan moral perlu

dijelaskan orang tua sebagai hal yang penting dari sebuah cerita rakyat.

Kedua, memanfaatkan fungsi lembaga pemerintah dan masyarakat. Dalam hal

ini, perlunya menjaga dan melestarikan cagar budaya yang merupakan peninggalan dari

cerita rakyat, misalnya; Tangkuban Perahu di Bandung yang berasal dari cerita rakyat

“Sangkuriang”. Cagar budaya menjadi aset penting bagi kelestarian budaya bangsa,

termasuk pula aset penting bagi pendidikan kearifan lokal. Oleh sebab itu, lembaga

pemerintah perlu melakukan penjagaan dan pelestarian cagar budaya atau peninggalan-

peninggalan dari cerita rakyat. Selain pemerintah, masyarakat pun memiliki kewajiban

yang sama untuk menjaga dan melestarikannya, yakni dengan tidak merusaknya. Selain

sebagai tempat wisata, cagar budaya memiliki fungsi pendidikan, sehingga perlu

pendeketan kultural secara konstruktif. Dalam hal ini, dapat dilakukan dengan

melakukan “Dongeng Ceria” kepada anak-anak, sebagai agenda kewisataan berbasis

kearifan lokal melalui cerita-cerita rakyat. Dapat pula dilakukan dengan pertunjukan

teater yang bertemakan cerita rakyat.

Ketiga, memanfaatkan fungsi teknologi. Perkembangan teknologi perlu

dimanfaatkan dalam pendidikan kearifan lokal. Hal ini dapat dilakukan pada media

perfilman, di mana cerita rakyat dinarasikan dalam sebuah film. Saat ini, dunia

perfilman mendapat banyak kritikan dikarenakan tidak memiliki pesan moral yang baik.


Oleh sebab itu, hadirnya cerita rakyat dalam dunia perfilman mengembalikan fungsi

perfilman, yakni tidak hanya sebagai fungsi entertainment, tetapi juga terdapat budaya

dan edukasi didalamnya tentang nilai-nilai kearifan lokal. Namun, film yang

mengangkat cerita rakyat perlu dikemas berbeda pada era sekarang, dengan

memanfaatkan fasilitas dan perkembangan teknologi yang telah tersedia.

Upaya di atas perlu disinergikan secara bersama-sama. Dalam hal ini, keluarga

dan masyarakat harus mampu mamanfaatkan cagar budaya yang telah disediakan

pemerintah sebagai tempat rekreasi dan edukasi, serta memberikan tontonan film yang

baik terhadap anak tentang cerita rakyat. Pada aspek kepemerintahan, perlunya

kebijakan tentang kemudahan akses cagar budaya, seperti; sarana dan prasarana, tetapi

pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi kearifan lokal. Selain itu, perlunya

kebijakan dan dukungan terhadap film cerita rakyat sebagai legitimasi. Bagi produser

film, pembuatan film cerita rakyat perlu mendapatkan saran dan rekomendasi, termasuk

pemerintah. Oleh sebab itu, melalui upaya di atas diharapkan akan memberikan wajah

baru bagi kemoderatan pendidikan kearifan lokal, sehingga tidak ada intervensi yang

negatif dari luar. Dalam konteks nilai-nilai kearifan lokal, terdapat nilai-nilai terhadap

ketuhanan, kemanusiaan, dan alam, sehingga karakter yang terbentuk melalui

pendidikan berbasis floklor akan cenderung ke arah moderat, yakni bersifat inklusif dan

toleran, serta bertanggung jawab, sehingga akan terwujud sikap yang demokratis.


Penutup

Penjelasan di atas merupakan telaah atas masalah krisis pendidikan dan

kebudayaan yang semakin mengancam bangsa ini, termasuk krisis folklor dalam

masyarakat. Atas problematika tersebut, dibutuhkan gagasan, tidak hanya bersifat

konseptual, tetapi perlu diimplementasikan secara nyata. Folklor sebagai bagian dari

aspek kearifan lokal merupakan soft-way-out bagi problematika pendidikan dan

kebudayaan. Dalam hal ini, dapat dilakukan dengan pendekatan kekeluargaan,

kelembagaan, kemasyarakatan, serta teknologis. Pendekatan kekeluargaan, dapat

dilakukan melalui implementasi nilai-nilai folklor dalam aktivitas dan interaksi yang

ada didalam keluarga. Selanjutnya, pendekatan kelembagaan dan kemasyarakatan

merupakan bentuk kesadaran untuk menjaga dan melestarikan cagar budaya

peninggalan folklor. Pada pendekatan teknologis, pemanfaatan secara positif dari

perkembangan teknologi menjadi acuan utama. Hal ini berkaitan dengan media yang

tidak hanya sebagai entertainment, tetapi memiliki unsur budaya dan edukasi

didalamnya.

Beberapa upaya di atas, merupakan upaya dalam memoderasikan pendidikan

berbasis kearifan lokal, sehingga akan tercipta sistem yang moderat, serta dapat

terwujud kedamaian bermasyarakat. Namun, untuk merealisasikan upaya di atas, maka

diperlukan peran semua pihak, sehingga pemerintah dan masyarakat harus bersama-

sama bekerja secara berdampingan. Harapan bersama terciptanya proses timbal balik

dan kerja sama yang mencerminkan nilai-nilai demokratis.

 

Sub Tema : Pendidikan

 Disusun Oleh:

1. Nurul Soffia

2. Yoanna Angelica


---

Salam Peneliti Muda!

Untuk hasil karya yang lebih lengkap dapat menghubungi:

Instagram: @ukmpenelitianunila

Email: ukmpenelitianunila@gmail.com / ukmpunila@gmail.com

Youtube: UKM Penelitian Unila

Tiktok: ukmpunila

0 comments:

Posting Komentar

Postingan Populer