Selasa, 22 November 2022

STUNTING MENJADI PERMASALAH KESEHATAN YANG TINGGI DI INDONESIA

 Anak adalah anugerah terindah dan impian setiap orang tua. Bayangkan

bahwa setiap anak yang lahir ke dunia ini menjadi pewaris keluarga. Seorang anak

tidak dapat memilih dari keluarga mana anak tersebut dilahirkan. Meskipun

demikian, setiap keluarga memiliki cara yang berbeda dalam membesarkan anak-

anak mereka sehingga, dengan cara tersebut seorang anak bisa saja tumbuh

menjadi orang yang berguna. Seperti yang dikutip oleh pendidik terkenal Italia St.

John Bosco, peran keluarga, terutama orang tua, sangat penting dalam menentukan

kualitas diri anak. Anak tidak hanya berhak atas sandang, pangan dan papan yang

layak. Namun, anak-anak yang belum lahir juga memiliki hak untuk cinta,

pendidikan dan kesehatan. Kesehatan merupakan penentu utama kualitas

pendidikan dan masa depan anak. Pendidikan akan menjadi hal yang percuma jika

anak tumbuh dengan sakit-sakitan . Oleh karena itu, orang tua yang bijaksana dan

bertanggung jawab harus memperhatikan kualitas kesehatan anaknya diatas

mendahulukan kepentingan lain. Masalah kesehatan anak tetap menjadi perhatian

serius di era digital ini.


Salah satu permasalahan kesehatan pada anak yang masih menjadi fokus

global hingga saat ini adalah masalah stunting. Stunting adalah keadaan tubuh

pendek akibat kekurangan gizi kronis berkepanjangan. Anak Indonesia pada

umumnya tidak kekurangan makan, tetapi rendahnya kesadaran akan gizi seimbang

mengakibatkan mereka hanya mendapat asupan makanan pokok dengan sedikit

protein atau sayuran. Banyak orang tua juga tidak memahami pentingnya ASI,

sebaliknya mengandalkan susu formula bagi bayi. Stunting dapat di diagnosis

melalui indeks antropometri tinggi badan menurut umur yang mencerminkan

pertumbuhan linier yang dicapai pada pra dan pasca persalinan dengan indikasi

kekurangan gizi jangka panjang, akibat dari gizi yang tidak memadai. Stunting

merupakan pertumbuhan linear yang gagal untuk mencapai potensi genetik sebagai

akibat dari pola makan yang buruk dan penyakit infeksi (ACC/SCN, 2000).


Menurut Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi

balita stunting di Indonesia pada tahun 2018 mencapai 30,8 persen di mana artinya

satu dari tiga balita mengalami stunting. Indonesia sendiri, merupakan negara

dengan beban anak stunting tertinggi ke-2 di Kawasan Asia Tenggara dan ke-5 di

dunia. Tinggi nya kasus stunting di Indonesia ini, disebabkan oleh kurangnya

asupan gizi pada ibu hamil. Masalah kekurangan gizi pada ibu hamil menyebabkan

bayi yang di kandung mengalami tinggi badan dan berat badan yang tidak normal

seperti bayi pada umumnya, hingga sering mengalami sakit. Stunting pada anak

juga menjadi salah satu faktor risiko terjadinya kematian, masalah perkembangan

motorik yang rendah, kemampuan berbahasa yang rendah, dan adanya

ketidakseimbangan fungsional.


Secara nasional status gizi balita berdasarkan hasil Pemantauan Status Gizi

(PSG) pada tahun 2017 ditunjukkan bahwa masalah gizi kurang, pendek dan

gemuk, lebih tinggi pada kelompok balita usia 0-59 bulan, sedangkan masalah

kurus lebih tinggi pada kelompok baduta usia 0-23 bulan. Komitmen pemerintah

dalam upaya percepatan perbaikan gizi telah dinyatakan melalui Perpres Nomor 42

Tahun 2013, tanggal 23 Mei 2013, tentang Gerakan Nasional (Gernas) Percepatan

Perbaikan Gizi yang merupakan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat

melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara

terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan

prioritas pada Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK).


Pangan dan gizi merupakan salah satu faktor yang erat kaitannya dengan

pening katan kualitas sumber daya manusia. Masyarakat yang kebutuhannya

terpenuhi dengan kualitas gizi seimbang dapat lebih berpartisipasi dalam

pembangunan. Masalah pangan dan gizi merupakan masalah yang kompleks dan

saling terkait. Sejumlah pendekatan digunakan untuk menilai kualitas pangan dan

gizi, yang dapat dilakukan dengan menilai konsumsi dan pola makan serta status

gizi suatu wilayah atau kelompok tertentu. Setiap daerah memiliki masalah pangan

dan gizi yang berbeda dengan daerah lainnya. Daerah tempat tinggal penduduk juga

menentukan pola konsumsi masyarakat . Maka dari itu dengan adanya masalah

pangan dan gizi yang ada di setiap daerah membuat pemerintah memberikan upaya

yang lebih efektif dan efisien lagi agar tingkat stunting pada balita bisa di

minimalisir ,


Sesuai data Bappenas menunjukan stunting menyebar diseluruh wilayah

dan lintas kelompok pendapatan, sehingga masalah stunting tidak hanya ditemukan

pada keluarga miskin saja, namun juga keluarga yang termasuk golongan

menengah. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

(RPJMN), pemerintah menargetkan penurunan prevalensi stunting dari status awal

32,9% turun menjadi 28% pada 2019, sedangkan WHO menetapkan batas toleransi

stunting maksimal 20% dari jumlah keseluruhan balita. Selain itu, tahun kemarin

Wapres memaparkan bahwa berdasarkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI)

tahun 2021 yang dilaksanakan Kementerian Kesehatan, angka prevalensi stunting

di Indonesia pada tahun 2021 sebesar 24,4%, atau menurun sekitar 6,4% dari angka

30,8% pada 2018. Hal tersebut menunjukan bahwa meskipun angka prevalensi di

Indonesia menurun namun, angka tersebut masih terbilang cukup tinggi

dibandingkan negara-negara lain yang juga sedang memberantas stunting di negara

mereka.


Penyebab stunting sendiri dimulai saat anak masih ada di dalam kandungan

karena pola makan ibu yang buruk, tetapi gejalanya biasanya muncul setelah anak

berusia sekitar dua tahun, yang ditandai dengan anak tersebut tidak tumbuh secepat

yang seharusnya. Intervensi yang paling menetukan untuk dapat mengurangi

prevalensi stunting oleh karenanya perlu dilakukan pada 1000 hari pertama

kehidupan dari anak balita. Selain itu beberapa faktor lainnya yang menjadi

penyebab stunting adalah praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk

kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa

kehamilan , serta setelah melahirkan. Di beberapa daerah, kurangnya air bersih

untuk sanitasi, kebersihan pribadi, serta akses terbatas ke layanan kesehatan juga

dapat memperburuk masalah stunting yang ada di Indonesia . Dari beberapa faktor

tersebut dapat diyakini menjadi penyebab tingginya angka stunting di Indonesia.

Hal ini didukung oleh beberapa fakta bahwa 1 dari 3 ibu hamil di Indonesia

mengalami anemia. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya asupan gizi dan

kurangnya suplemen zat besi.


Stunting bukan berarti gizi buruk yang ditandai dengan kondisi tubuh anak

yang begitu kurus. Permasalah yang sering kali terjadi adalah anak yang mengalami

stunting tidak terlalu terlihat secara fisik. Anak atau balita stunting umumnya

terlihat normal dan sehat. Namun jika ditelisik lebih jauh ada aspek-aspek lain yang

justru jadi persoalan. Tidak hanya kognitif atau fisik, anak yang mengalami stunting

cenderung memiliki sistem metabolisme tubuh yang tidak optimal. Misalnya kalau

anak lain bisa tumbuh ke atas, dia justru tumbuh ke samping. Tak hanya itu, suatu

saat, balita yang mengalami stunting akan tumbuh menjadi manusia dewasa dan

bekerja. Sayangnya, faktor stunting yang dialami sejak kecil kerap kali menyulitkan

mereka untuk mendapatkan pekerjaan karena keterbatasan kemampuan yang

dimiliki.


Stunting mengakibatkan kerugian besar dari segi ekonomi. Balita/Baduta

(Bayi dibawah usia dua tahun) yang mengalami stunting akan memiliki tingkat

kecerdasan tidak maksimal, menjadikan anak lebih rentan terhadap penyakit di

masa depan seperti halnya diabetes dan kanker yang dimana dapat beresiko pada

menurunnya tingkat produktifitas. Dengan adanya hal tersebut dapat berdampak

pada perekonomian negara. Pemerintah telah menetapkan target untuk menjadi

kekuatan ekonomi terbesar kelima di dunia pada tahun 2045, yang didukung adanya

bonus demografi dengan banyaknya usia produktif dalam beberapa dekade

mendatang. Tetapi jika stunting tetap pada level saat ini, lebih dari seperempat dari

angkatan kerja tersebut akan kurang sehat dan produktif daripada yang seharusnya.

Hal ini menghambat pembangunan bangsa dan mengakibatkan jutaan orang di

bawah kemiskinan dan ketimpangan yang seharusnya bisa dihindari.


Anak kerdil yang terjadi di Indonesia sebenarnya tidak hanya dialami oleh

rumah tangga atau keluarga yang miskin dan kurang mampu, karena stunting juga

dialami oleh rumah tangga atau keluarga yang tidak miskin yang berada di atas 40%

tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi. Beberapa fakta dan informasi yang ada

menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan Air Susu Ibu

(ASI) secara ekslusif, dan 2 dari 3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan

Pendamping Air Susu Ibu (MP- ASI). MP-ASI diberikan atau mulai diperkenalkan

ketika balita berusia diatas 6 bulan. Selain berfungsi untuk mengenalkan jenis

makanan baru pada bayi, MPASI juga dapat mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh

bayi yang tidak lagi dapat disokong oleh ASI, serta membentuk daya tahan tubuh

dan perkembangan sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman.

Anak stunting penyebab utamanya asupan gizi. Tak satupun penelitian yang

mengatakan keturunan memegang faktor yang lebih penting daripada gizi dalam

hal pertumbuhan fisik anak. Masyarakat, umumnya menganggap pertumbuhan fisik

sepenuhnya dipengaruhi faktor keturunan. Pemahaman keliru itu kerap

menghambat sosialisasi pencegahan stunting yang semestinya dilakukan dengan

upaya mencukupi kebutuhan gizi sejak anak dalam kandungan hingga usia dua

tahun. Salah satu cara mencegah stunting adalah pemenuhan gizi dan pelayanan

kesehatan kepada ibu hamil. Upaya ini sangat diperlukan, mengingat stunting akan

berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan anak dan status kesehatan pada saat

dewasa.


Sanitasi merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi risiko

stunting. Sanitasi yang baik akan memengaruhi tumbuh kembang seorang anak.

Sanitasi dan keamanan pangan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit

infeksi. Penerapan kebersihan yang tidak baik mampu menimbulkan berbagai

bakteri yang mampu masuk ke dalam tubuh yang menyebabkan timbul beberapa

penyakit seperti diare, cacingan, demam, malaria dan beberapa penyakit lainnya.

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan risiko stunting akibat lingkungan rumah

adalah kondisi tempat tinggal, pasokan air bersih yang kurang dan kebersihan

lingkungan yang tidak memadai. Kejadian infeksi dapat menjadi penyebab kritis

terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan. Penyediaan toilet, perbaikan dalam

praktek cuci tangan dan perbaikan kualitas air adalah alat penting untuk mencegah

gangguan organ pencernaan dan dengan demikian dapat mengurangi risiko

hambatan pertumbuhan tinggi badan anak.


Peran sanitasi dalam mempengaruhi kejadian stunting, karena sanitasi yang

buruk akan meningkatkan adanya penyakit. Penyediaan air berhubungan erat

dengan kesehatan. Pada negara berkembang, kekurangan penyediaan air yang baik

sebagai sarana sanitasi akan meningkatkan terjadinya penyakit dan kemudian

berujung pada keadaan malnutrisi. Komponen fasilitas sanitasi yang tidak terpenuhi

juga merupakan penyebab terjadinya diare dalam keluarga. Akses dan sarana toilet

yang buruk, serta tidak adanya fasilitas pengelolaan tinja dan limbah akan

menambah resiko terjadinya diare pada balita dalam keluarga karena persebaran

virus, kuman, dan bakteri akan semakin tinggi.


Melimpahnya jumlah penduduk usia produktif tentu merupakan hal yang

harus dimanfaatkan untuk meningkatkan capaian-capaian positif di berbagai bidang

yang dapat menunjang pembangunan nasional suatu negara. Namun jika dilihat

bonus demograsi sendiri tidak akan berarti apa-apa jika generasi muda nya tidak

tumbuh sehat dan berkualitas, mereka cenderung tidak akan mampu

memaksimalkan potensi mereka dalam berbagai hal . Maka dari itu pemerintah

harus memberikan suatu upaya-upaya secara maksimal untuk dapat mencegah

penyakit stunting ini terutama bagi generasi muda seperti balita.

Tak heran apabila Pemerintah menaruh perhatian serius pada masalah

stunting. Beberapa program prioritas telah dicanangkan, komitmen seluruh instansi

juga sudah dituangkan. Hal tersebut tercermin dalam tiga arah kebijakan

pencegahan stunting. Pertama, peningkatan intervensi Pemerintah dengan sasaran

ibu hamil, ibu menyusui, dan balita, antara lain melalui penyediaan makanan

tambahan. Kedua, perbaikan akses dan sanitasi dasar melalu penyediaan air minum

dan akses sanitasi yang layak. Ketiga, Pemerintah akan meningkatkan cakupan

program bantuan sosial, diantaranya melalui pemberian bantuan pangan non-tunai

untuk keluarga kurang mampu. Untuk mendukung program-program tersebut,

Pemerintah menyediakan dukungan fiskal melalui APBN. Baik dari sisi belanja

pemerintah pusat, maupun Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD). Program-

program dan dukungan fiskal tersebut diharapkan dapat menurunkan angka

prevelensi stunting menjadi 22% pada 2025.


Selain untuk melaksanakan program yang telah dibuat, pemerintah juga

semestinya dapat meniru program dari negara lain yang sudah terbukti berhasil

menurunkan angka stunting yang cukup signifikan. Tapi yang perlu diingat bahwa

program-program yang bagus saja tidak cukup, perlu komitmen yang kuat dari

seluruh pihak untuk menurunkan angka stunting. Kita harus sepenuhnya sadar

bahwa anak-anak adalah masa depan bangsa ini. Jadi, pekerjaan rumah untuk

menurunkan angka stunting ini harus segera diselesaikan. Karena generasi yang

sehat adalah fondasi kokoh bagi masa depan sebuah bangsa.


---

Salam Peneliti Muda!

Untuk hasil karya yang lebih lengkap dapat menghubungi:

Instagram: @ukmpenelitianunila

Email: ukmpenelitianunila@gmail.com / ukmpunila@gmail.com

Youtube: UKM Penelitian Unila

Tiktok: ukmpunila


0 comments:

Posting Komentar

Postingan Populer