Jumat, 25 November 2022

MEDIA MASSA DAN MARKETING POLITIK DALAM PEMILU

Media Massa merupakan sarana atau wadah untuk menyampaikan pesan-pesan

kepada masyarakat luas. Bentuknya bisa berupa karangan khas layaknya cerpen

atau novel, berita, ataupun opini mengenai suatu permasalahan. Kegiatan yang

berkaitan dengan media massa sejauh ini telah berubah menjadi industri, yaitu

media harus bisa meraih keuntungan sebanyak-banyaknya demi kelangsungan

hidup, entah itu melalui penjualan ataupun iklan seiring dengan masuknya unsur

kapital. Adapun hubungannya dengan politik yaitu bahwa elite partai telah menjadi

penguasa sebagian media. Sehingga tak jarang bahwa media massa pun ikut

berjuang dalam membentuk sebuah opini publik dengan menjadi pendukung dari

salah satu kutub politik. Hal ini juga didasari oleh besarnya kekuatan yang dimiliki

media dalam membentuk opini publik, sehingga biasanya, ketika musim pemilu,

banyak partai dan tokoh politik yang akan mendekati dan memanfaatkan kekuatan

media. Publik dianggap sebagai subjek pasif atau hipodermis yang akan menerima

informasi satu arah dari media. Maka pada dasarnya, ini akan menjadi berbahaya

ketika ada suatu kelompok yang memiliki kepentingan kemudian menjejalkan

agenda setting yang negatif, apalagi ketika publik dengan mudahnya langsung

menerima apapun yang dijejalkan oleh media tersebut.


Agenda Setting Theory

Agenda setting ialah kemampuan media massa dalam mengarahkan dan

memfokuskan perhatian masyarakat mengenai suatu isu yang memang sengaja

diagendakan oleh media. Artinya, media massa di sini memiliki kuasa dalam

memberikan pengaruh terkait hal penting apa yang dipikirkan oleh masyarakat atau

juga disebut sebagai agenda publik. Media akan menentukan, mengemas, dan

menyajikan agenda atau informasi yang dikehendaki, yang kemudian akan

berpengaruh pada pembentukan persepsi khalayak melalui kabar yang didapatnya

dari media massa. Hal ini disebabkan karena masyarakat cenderung menganggap

hal yang diberitakan oleh media itu sebagai hal yang sudah pasti penting. Misalnya,

masyarakat akan menganggap kasus kejahatan sebagai masalah yang penting hanya

karena media massa sering memuat kasus tersebut melalui koran. Maka kaitannya

dengan politik, agenda setting ini juga lah yang kemudian akan membentuk suatu

citra seorang tokoh politik dan masyarakat pun akan menganggapnya sebagai tokoh

yang berpengaruh. Hal ini biasanya ramai ketika dimulai musim pilkada atau

pemilu, di mana media massa akan berbondong-bondong membantu para calon atau

tokoh politik dari suatu partai dalam membentuk opini publik. Media disibukkan

dengan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh para calon demi memikat perhatian

khalayaknya. Bahkan tak jarang segala strategi dan janji yang belum tentu terwujud

pun dikemas sedemikian rupa hanya demi menarik minat masyarakat. Walau pada

kenyataannya, media yang mengunggah hal tersebut merupakan media yang

dimiliki oleh si calon itu sendiri. Seperti dalam contoh kasus MNC Grup yang

nyatanya milik salah satu partai, dimana media tersebut secara terus menerus

menampilkan kegiatan salah satu calon dan seolah menunjukkan bagaimana calon

tersebut berkontribusi dalam masyarakat, misalnya dengan memantau harga

sembako ke pasar tradisional, menyampaikan pidato program kerja, bahkan

seringkali terlihat bahwa calon tersebut sedang turun ke lapangan membantu

kegiatan masyarakat.


Sejatinya, agenda setting tidak melulu berbicara soal politik. Asumsi awal

media setting ialah bahwa media massa itu melakukan penyaringan terhadap berita,

artikel, siaran, maupun tulisan yang kemudian akan disebarluaskan. Tetapi dalam

perkembangannya, agenda setting ini seringkali menjadi mediasi untuk melakukan

komunikasi politik dalam berbagai macam pesta demokrasi.

Teori agenda setting menawarkan kemungkinan akan timbulnya pengaruh

terkait pendapat, sebab teori ini menawarkan fungsi belajar dan menambah

pengetahuan audiensnya melalui media massa. Dalam prosesnya pun, masyarakat

dapat belajar mengenai suatu isu dan bagaimana kemudian isu tersebut disusun

dengan didasarkan melalui seberapa pentingnya isu tersebut. Maxwell MC Combs

dan Donald Shaw sebagai teoritisi dari model ini menyatakan bahwa audiens pada

dasarnya tidak belajar mengenai berita melalui media massa saja, tetapi juga belajar

mengenai seberapa pentingnya isu tersebut ditekankan oleh media massa. Misal,

ketika para kandidat melakukan kampanye pemilu, media massa lah yang sangat

menentukan topik yang dianggap paling penting. Padahal kenyataannya,

masyarakat masih berpendapat bahwa harga sembako lah yang masih lebih penting

untuk diberitakan. Maka, aspek paling penting dari power komunikasi massa ini

yaitu kemampuan dalam mengubah dan mempengaruhi perilaku kognitif individu.


Jika dikaitkan dengan kegiatan kampanye tadi, maka masyarakat yang bisa

diyakinkan nantinya akan memilih salah satu kandidat yang lebih berkompeten

dalam menangani keresahan terkait harga sembako.

Ketika musim pemilihan presiden, media massa menjadi propaganda. Noam

Chomsky berpendapat bahwa propoganda tersebut disebabkan karena 4 hal, antara

lain: kepemilikan media yang terkonsentrasi pada sekelompok elit, penggunaan

iklan atau orientasi komersial yang dilakukan terlalu berlebihan, khususnya iklan

politik ketika menjelang pemilu. Selain itu, tradisi jurnalistik yang sumber

informasinya masih bergantung pada kalangan elit, pemerintah, serta pakar yang

merupakan tiga lingkaran elit masyarakat. Adapun yang terakhir yaitu norma "kalah

menang" dalam politik dikedepankan oleh media. Ketika hari pemungutan suara,

media cenderung hanya menyajikan prediksi peringkat kandidat dan

mengesampingkan latar belakang pandangan pemilihan terhadap kandidat tersebut.

Adapun media atau sarana yang paling banyak digunakan oleh para politisi

untuk berkampanye yaitu media televisi. Televisi dianggap memberikan

kemudahan sebab penayangan iklannya bisa kapan saja. Pun bisa menonjolkan

dengan jelas terkait bagaimana figur kandidat sehingga nantinya akan

mempengaruhi masyarakat dalam memilih. Meski begitu, penayangan iklan politik

itu harus disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku. Tidak seperti contoh kasus

yang pernah terjadi pada tahun 2014, yang mana terdapat dua stasiun televisi yang

kemudian mendapat teguran dari KPI setelah menayangkan pesan politik secara

berlebihan menjelang pemilihan presiden. Stasiun televisi tersebut yakni Metro TV

kepunyaan Surya Paloh dan TV One kepunyaan Abu Rizal Bakrie. Kasus lainnya

yaitu terjadi di tahun 2019, di mana Kompas TV terlihat memberikan dukungan

kepada kubu Prabowo saat pemilihan presiden. Kasus-kasus tersebut membuktikan

bahwa media televisi Indonesia masih belum bisa sesuai berkenaan dengan

peraturan perundang-undangan Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Terlebih

pada Pasal 36 ayat 4 yang berbunyi bahwa “Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan

tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu”. Jika media televisi

terus menunjukkan keberpihakannya pada suatu kandidat, maka hal ini justru akan

memicu munculnya rasa pesimisme masyarakat. Untuk itu, media diharapkan bisa

menjadi sumber informasi yang netral dan menjalankan fungsinya dengan baik

demi mencegah adanya kekacauan informasi publik. Media massa juga diharapkan

bisa menjadi pengontrol efektif dalam mengatasi ketimpangan sekaligus menjadi

akselerator gerakan demokrasi, terutama ketika dihadapkan dengan agenda politik

pemilu. Di sisi lain, media harus bisa memberi peluang terhadap masyarakat agar

masyarakat bisa bebas mengungkapkan aspirasinya, misalnya, melalui kolom surat

pembaca yang terdapat pada media online atau koran.


Kesimpulan

Di dalam pemilu, jurnalisme sudah seharusnya menyajikan informasi yang

memuat fakta mengenai suatu peristiwa yang nantinya akan menjadi referensi

masyarakat dalam pengambilan keputusan. Penerapan agenda setting pun

diharapkan bisa membawa dampak positif yakni berupa terbentuknya opini publik

yang baik, sehingga pers menjadi lebih aspiratif dan semakin merepresentasikan

bangsa yang demokratis. Adapun hal-hal yang jadi hambatan sebaiknya ditiadakan.

Misalnya, kepentingan pemiliki modal sebaiknya tidak lagi mempengaruhi

kebebasan redaksional. Sebab, jika terus seperti itu, maka akan berakibat pada

terbentuknya opini publik yang semu. Tetapi jika misalkan hal tersebut terus terjadi,

maka masyarakat lah yang seharusnya bisa lebih selektif dalam memilih informasi

sehingga tidak melulu terbelenggu dalam pembentukan opini publik.


---

Salam Peneliti Muda!

Untuk hasil karya yang lebih lengkap dapat menghubungi:

Instagram: @ukmpenelitianunila

Email: ukmpenelitianunila@gmail.com / ukmpunila@gmail.com

Youtube: UKM Penelitian Unila

Tiktok: ukmpunila

0 comments:

Posting Komentar

Postingan Populer