“Silent Killer” menjadi nama lain penyakit yang mengganggu sistem metabolisme tubuh
dan membunuh secara diam-diam. kerap kali penyakit ini sulit untuk disadari oleh
penderita, penyakit ini adalah Diabetes Melitus (DM). ketika diabetes melitus terlambat
mendapatkan penanganan akan menimbulkan komplikasi dan menimbulkan banyak
gangguan kesehatan lain seperti, hipertensi, penyakit jantung dan pembuluh darah, stroke,
gagal ginjal dan kebutaan. (Anani, 2012). Yang kemudian Diabetes Melitus disebut-sebut
sebagai induk dari penyakit (Mother Of Disases). Pada tahun 2011 WHO mencatat
penderita diabetes melitus di dunia mencapai 200 juta jiwa, dan Indonesia menduduki
urutan keempat setelah India, Cina dan Amerika Serikat, sebagai negara yang penduduknya
mengidap diabetes melitus tertinggi di dunia. Sedangkan di Indonesia sendiri tercatat 5,6
juta penduduk Indonesia yang mengidap diabetes melitus pada tahun 2011. Jumlah ini
tentunya hasil dari pencatatan dan penghitungan pengidap diabetes melitus seluruh penjuru
Indonesia, dan di provinsi Lampung tercatat sudah mencapai 1,5% per 100.000 atau
sebanyak 5.560 penderita diabetes melitus tipe II pada tahun 2014, data ini berdasarkan
catatan Dinas Kesehatan Provinsi Lampung. (Hazni, dkk., 2021).
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang menjadikan nasi putih sebagai
makanan pokok dan secara tidak langsung sebagian besar masyarakat Indonesia berasumsi
bahwa “mereka tidak dapat hidup tanpa nasi”. Namun sayangnya mengonsumsi nasi putih
menjadi salah satu penyebab tingginya konsumsi gula di Indonesia. Menurut hasil
penelitian dari Soviana dan Maenasari (2019), bahan makanan dengan frekuensi konsumsi
tinggi para responden mereka ialah gula pasir dan nasi putih, kira-kira 2-3x/hari responden
mereka mengonsumsi kedua bahan makanan tersebut. Rata-rata responden mereka
mengonsumsi 248,75 gram nasi putih per hari dengan beban glikemik 63,36 gram, dan
16,76 gram gula pasir perhari dan beban glikemik 11,06 gram. Mengenai hal ini badan
kesehatan dunia (WHO) merekomendasikan masyarakat untuk mengonsumsi makanan
dengan kandungan gula yang rendah sehingga indeks glikemik pun rendah untuk
meningkatkan upaya pengendalian glukosa darah pada masyarakat, dengan tetap
memperhatikan jumlah karbohidrat yang dikonsumsi. Nilai IG dapat dihitung setelah
mengetahui luas kurva sampel (pangan uji) dan glukosa (pangan acuan), yang dihitung
dengan membandingkan antara luas kurva kenaikan gula darah setelah mengonsumsi bahan
makanan yang diuji dan dengan hasil luas kurva kenaikan gula darah setelah mengonsumsi
bahan makanan rujukan standar seperti glukosa (Marsono et al, 2002). Nilai IG pangan
berkisar antara 1-100 dan di bagi dalam tiga level, yaitu rendah (<55), sedang (55-70), dan
tinggi (>70)( Septianingrum, dkk., 2016).
Menurut Indrasari (2008) pernah ada sebuah konsep lama manajemen diet untuk para
penderita diabetes. Konsep tersebut merekomendasikan para penderita diabetes untuk
membatasi konsumsi beras, dan mulai mengonsumsi umbi umbian. Banyak sekali sumber
karbohidrat yang bisa menjadi substitusi dari penggunaaan nasi putih untuk penderita
diabetes, seperti jagung, ubi jalar, singkong, dan gandum. Misalnya Jagung yang
mengandung serat pangan yang dibutuhkan oleh tubuh (dietary fiber) tentunya dengan
indeks glikemik (IG) yang relatif rendah jika dibanding dengan nasi (beras), sehingga beras
jagung menjadi bahan anjuran bagi penderita diabetes. Beban indeks glikemik pada beras
(dari padi) sekitar 50-120, sedangkan beban indeks glikemik beras jagung 50-90, namun
nilai IG tersebut sangat relatif sesuai dengan varietesnya. Masyarakat Indonesia pasti sudah
familiar dengan isu jagung adalah bahan pangan pokok maupun makanan ringan yang aman
dan sangat dianjurkan untuk masyarakat yang memiliki gangguan kesehatan khususnya
pengidap penyakit gula dan kelainan jantung. Kadar kolestrol dalam plasma darah dapat
diturunkan oleh Serat pangan (terutama serat larut) yang mampu meningkatkan ekskresi
asam empedu ke feses (meningkatnya konversi kolesterol dalam darah menjadi asam
empedu dalam hati). Karena serat pangan akan mengikat kolesterol untuk disekresikan ke
feses sehingga menurunkan absorpsi kolesterol di usus (Yasin, 2011).
Terdapat satu jenis jagung khusus (specialty corn) yang mengandung nutrisi lebih tinggi
dari jagung biasa/ normal yakni Jagung biji ungu-hitam, Jagung ungu-hitam mengandung
antisianin tinggi dengan amilosa rendah. Jagung jenis ini berasal dari china ditemukan pada
tahun 1908 yang seiring waktu menyebar ke Asia termasuk Indonesia dan USA dengan
jenis biji Mutiara-gigi kuda (Huang et al., 2005). Jagung jenis ini dapat diolah menjadi
makanan tradisional dengan kandungan nutrisi yang tinggi (Syamsul, 2020), selain itu
jagung biji ungu-hitam memiliki umur genjah (lekas berbuah) dengan masa panen masak
fisiologis 80 hari. Dan karena kandungan amilosa rendah yang <10% menjadikan jagung
jenis ini memiliki tekstur lunak, pullen dan enak (Widowati et al., 2006).
Berdasalkan hasil penelitian, nasi jagung memiliki beban indeks glikemik lebih rendah dari
nasi putih sehingga mengonsumsi nasi jagung menjadi salah satu upaya menurunkan kadar
gula darah. Setelah tubuh mendapatkan sari makanan yang mengandung gula akan diproses
oleh sistem pencernaan dan pemecahan kembali molekul makanan berlangsung di usus
duabelas jari (duodenum) dan jejenum proksimal. Setelah proses ini berlangsung akan
terjadi peningkatan kadar gula darah untuk sementara waktu dan akan kembali semula pada
kadar semula. Jumlah kadar gula yang diabsorbsi (diserap) dan diproses kira-kira 1gram/kg
BB per jam, namun harus diketahui bahwa proses ini terjadi dalam usus halus berlangsung
konstan dan tidak tergantung jumlah gula yang diproses. (Riyandani, 2013). Berdasarkan
hasil Penelitian oleh Widayati, dkk., (2022), rata-rata kadar glukosa darah penderita
Diabetes Mellitus Tipe II yang belum diberi nasi jagung sebesar 303,26. Sedangkan
penderita diabetes melitus tipe II yang telah diberi nasi jagung memiliki kadar glukosa
darah sebesar 254,65. Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar gula dalam darah penderita
DM Tipe II yang mengonsumsi nasi jagung lebih rendah jika dibandingan dengan penderita
DM Tipe II yang tidak diberi nasi jagung.
Salah satu solusi lain untuk penderita diabetes ialah mengonsumsi beras analog, karena
beras analog merupakan prosuk olahan yang berasal dari keseluruhan maupaun sebagian
bahan non-beras. (Mishra et al. 2012), sedangkan Budijanto dan Yuliyanti (2012)
menyatakan bahwa beras analog yang memiliki bentuk yang tampak seperti butiran beras
dapat berasal dari olahan yang sepenuhnya tepung (non-beras). Beras analog sendiri berasal
dari bahan baku jagung(tepung jagung) yang sudah banyak dikembangkan oleh para
peneliti melalui berbagai metode pencetakan, grits, granulasi, dan ekstrusi (Noviasari, dkk.,
2013).
Jagung menjadi bahan baku non-beras yang potensial untuk dijadikan sumber bahan
pangan pokok dalam proses pembuatan beras analog, karena jagung adalah salah satu hasil
komoditi yang diproduksi di Indonesia dan biji-bijian kedua yang mengandung karbohidrat
sebesar 75% setelah beras, juga mengandung kadar protein yang relatif tinggi sekitar 7–
12%. Sehingga jagung bisa dijadikan sumber protein yang baik (Ullah et al. 2010).
Berdasarkan data luas panen dan produksi jagung Tahun 2013, Provinsi Lampung menjadi
produsen utama ketiga jagung di Indonesia dengan luas panen 346.315 hektar dan produksi
jagung dalam bentuk pipilan kering sebesar 1.760.278 ton (Badan Pusat Statistik, 2015).
Selain penghasil jagung, provinsi Lampung juga merupakan salah satu provinsi penghasil
ubi jalar di Indonesia, Ubi jalar dipilih sebagai salah satu bahan utama untuk pembuatan
beras analog karena berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2016), produksi ubi jalar di
Propinsi Lampung mulai tahun 2011 - 2015 berada di urutan 10 - 12 penghasil ubi jalar di
Indonesia dengan hasil pertahun mencapai 47.239 ton hingga 47.408 ton. Produksi ubi jalar
di Propinsi Lampung mulai tahun 2011 - 2014 menyumbang sekitar 2% (47.735 - 49.669.
ton) dari produksi ubi jalar nasional (2.386.729 - 2.483.460 ton) per tahun.
Selain keberimpahan produksi ubi jalar di Lampung, pemilihan ubi jalar ungu untuk bahan
baku utama pembuatan beras analog karena Ubi jalar ungu menjadi sumber vitamin C dan
betakaroten (provitamin A) yang sangat baik. Kandungan betakaroten ubi jalar ungu lebih
tinggi dibandingkan ubi jalar kuning. Selain vitamin C, betakaroten, dan vitamin A,
komponen yang terpenting adalah kandungan antosianin (Nurdjanah dan Yuliana, 2016).
Ubi ungu ini memiliki kulit dan daging umbi yang berwarna ungu kehitaman (ungu pekat),
warna ungu ini merupakan pigmen antosianin yang terdapat pada ubi jalar ungu berfungsi
sebagai antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga berperan dalam mencegah
terjadinya penuaan, kanker, dan penyakit degeneratif, seperti arteriosclerosis. Selain itu,
antosianin juga memiliki kemampuan sebagai anti mutagenik dan antikarsinogenik
terhadap mutagen dan karsinogen yang terdapat pada bahan pangan dan produk olahannya,
mencegah gangguan fungsi hati, antihipertensi, dan menurunkan kadar gula darah
(antihiperglisemik) (Widowati, 2010).
Karena Masih tingginya angka penderita diabetes di lampung, dengan memaksimalkan
potensi dari Jagung pulut dan ubi ungu yang memiliki kandungan gizi yang sangat
potensial, rendahnya indeks glikemik kedua komoditi, dan untuk pemafaatan antosianin
sebagai antioksidan dan anti hiperglikemik, serta produksi jagung dan ubi yang melimpah
di Indonesia, juga tanaman jagung pulut dan ubi ungu yang mudah dikembangbiakan di
tanah Indonesia, Oleh karena itu kami berinovasi untuk membuat JUPUJU : Beras analog
berbahan dasar jagung pulut dan ubi jalar ungu sebagai solusi untuk substitusi nasi putih
pada penderita diabetes mellitus.
Pada pembuatan beras analog, akan digunakan metode ekstrusi akan mengalami proses
pengaliran bahan (shearing) ke dalam ekstruder, lalu mengalami pencampuran, pengadonan
pada kneading zone ektruder, pemanasan/pemasakan pada cooking zone ekstruder dan
pembentukan ketika keluar dari die, dimana bentuk dan ukuran lubang die dapat
disesuaikan dengan keinginan. Selain itu, pada proses ekstrusi juga terjadi gelatinasi pati
karena adanya proses pemanasan dan retrogradasi pati yang telah mengalami gelatinasi
sehingga didapatkan butir beras analog yang padat (Budi et al., 2013). Dengan adanya
penambahan Tepung ubi jalar diharapkan beras analog yang dihasilkan mempunyai banyak
kelebihan yaitu tahan lama, fleksibel, dan bahan baku untuk beras analog dapat diperoleh
sepanjang tahun. Ubi jalar dapat diproses menjadi tepung yang mempunyai banyak
kelebihan dibandingkan dengan ubi segar. Kelebihan tersebut antara lain tahan lama,
sehingga tersedia sepanjang tahun, fleksibel dalam penyimpanan dan transportasi, serta bisa
diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Pengolahan
ubi jalar menjadi tepung biasanya dilakukan secara kering, yaitu pengirisan ubi secara
melintang dan tipis tipis, kemudian pengeringan diikuti dengan penepungan dan pengayaan.
Akan tetapi, dalam aplikasinya pada produk makanan tepung ubi jalar mempunyai
kelemahan dalam hal sifat reologi dan sifat fisiko-kimia sehingga perlu penambahan bahan
bahan lain dalam adonannya ( Yadav el al., 2007).
---
Salam Peneliti Muda!
Untuk hasil karya yang lebih lengkap dapat menghubungi:
Instagram: @ukmpenelitianunila
Email: ukmpenelitianunila@gmail.com / ukmpunila@gmail.com
Youtube: UKM Penelitian Unila
Tiktok: ukmpunila
0 comments:
Posting Komentar