Sabtu, 04 Desember 2021

SISTEM PERTANIAN TERPADU DI DALAM RUANGAN UNTUK KOTA

SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN INDONESIA


ESAI

Oleh

Muhamad Ogas Saputra Teknik Pertanian/1914071055

Amapel Odenia Fisika/1917041037

Sub Tema :

Pertanian dan Pangan


Sistem Pertanian Terpadu Di Dalam Ruangan Untuk Kota Sebagai Upaya


Mewujudkan Ketahanan Pangan Indonesia


Pendahuluan

Indonesia memegang julukan sebagai negara agraris, di mana sektor pertanian

sangat memegang peranan penting dari keseluruhan sektor nasional. Indonesia

memiliki luas daratan lebih kurang 190,9 juta ha, dengan luas 70,8 juta ha atau

37,1% telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan budidaya seperti sawah,

pertanian lahan kering, perkebunan, budidaya non-pertanian (permukiman,

industri, tambang, dll) dan seluas 120,2 juta ha atau 62,9% masih berupa hutan.

Menurut data badan pusat statistik ditahun 2018, luas bahan baku sawah di

indonesia baik yang beririgasi teknis maupun non irigasi mengalami penurunan

lahan seluas 650.000 ha per tahun. Maraknya fenomena alih fungsi lahan pertanian

sudah seyogyanya jadi perhatian semua pihak. Sebagai ilustrasi, data terakhir dari

Direktorat Jenderal Pengelolaan Lahan dan Air, Departemen Pertanian (Dirjen

PLA, 2005) menunjukkan bahwa sekitar 187.720 hektar sawah beralih fungsi ke

penggunaan lain setiap tahunnya, terutama di Pulau Jawa. Lebih mengkhawatirkan

lagi, data dari Direktorat Penatagunaan Tanah Badan Pertanahan Nasional (Winoto,

2005) menggambarkan bahwa jika arahan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

yang ada pada saat ini tidak ditinjau kembali, maka dari total lahan sawah beririgasi

(7,3 juta hektar), hanya sekitar 4,2 juta hektar (57,6%) yang dapat dipertahankan

fungsinya. Sisanya, yakni sekitar 3,01 juta hektar (42,4%) terancam beralih fungsi

ke penggunaan lain.


Fungsi untuk penyediaan bahan pangan dan permukiman selalu antagonis artinya

semakin luas lahan yang digunakan untuk permukiman atau kebutuhan non

pertanian akan semakin menurunkan luas lahan untuk pertanian (penyediaan bahan

pangan). Kecenderungan konversi (alih fungsi lahan) lahan pertanian menjadi non

pertanian semakin meningkat dari tahun ke tahun (Nurcholis & Supangkat, 2011).

Proses alih fungsi itu harus dikendalikan sedemikian rupa sehingga tidak mengarah


pada krisis pangan ekonomi dan sosial yang pada akhirnya akan menimbulkan

instabilitas politik dan keamanan regional maupun nasional. Di Indonesia areal

lahan sawah yang beririgasi mempunyai posisi yang sangat strategis. Sebagian

besar produksi padi dihasilkan dari areal yang strategis ini, yang diperkirakan

mencapai 6,7 juta hektar. Apabila areal ini berkurang dalam jumlah besar , akan

mempunyai dampak buruk terhadap produksi beras nasional (Berita Indonesia,

2007). Areal padi sawah memiliki peranan penting untuk menentukan keamanan

pangan. Lebih dari 90% beras yang dikonsumsi di Indonesia adalah produksi

sendiri dan sekitar 95% dari produksi ini dihasilkan dari lahan sawah (Ginting,

2005). Akibat dari dampak alih fungsi lahan ini berdampak pada sistem ketahanan

pangan di Indonesia.


Dalam kajian ini, akan dikaji lebih lanjut mengenai ketahanan pangan dan

bagaimana kota yang memiliki lahan pertanian sedikit atau bahkan tidak ada, tetapi

bisa turut berperan dalam mewujudkan ketahanan pangan, serta peran pemerintah,

masyarakat, dan generasi muda dalam memberikan solusi terkait dengan isu

ketahanan pangan Indonesia. Metode yang digunakan adalah studi literatur yang

nantinya akan dianalisis dengan pendekatan kualitatif.


Pembahasan

Pada tahun 2000 jumlah penduduk Indonesia sebanyak 206.264.595 jiwa, lalu pada

tahun 2010 jumlah penduduk Indonesia meningkat menjadi 237.641.326 jiwa dan

di tahun 2020 jumlah penduduk di Indonesia terus meningkat menjadi 270.203.917

jiwa. Bertambahnya luas pemukiman bagi penduduk Indonesia yang merupakan

indikator laju kepadatan penduduk juga menunjukkan peningkatan dengan rincian

yaitu sebagai berikut, pada tahun 2000 dengan rata rata laju kepadatan penduduk

sebesar 107 jiwa/km2


, kemudian di tahun 2010 rata-rata laju kepadatan penduduk


meningkat menjadi 124 jiwa/km2


(BPS, 2009) dan pada tahun 2020 rata-rata laju


kepadatan penduduk sebesar 141 jiwa/km2


(BPS, 2021). Seiring dengan

peningkatan jumlah penduduk di Indonesia kebutuhan akan pangan, sandang dan

papan tentunya akan ikut meningkat. Selain itu dengan peningkatan jumlah


penduduk Indonesia dari tahun ke tahun maka pemukiman penduduk juga turut

meningkat. Hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan jumlah penduduk yang

diikuti upaya pemenuhan tempat tinggal akan berpotensi meningkatnya alih fungsi

lahan dan akan berdampak pada ketahanan pangan.


Ketahanan pangan menurut UU No. 18/2012 tentang pangan adalah kondisi

terpenuhnya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari

tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,

bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan,

dan budaya masyarakat, untuk hidup sehat, aktif, dan produktif secara

berkelanjutan. Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi setiap

saat, karena apabila terjadi kekurangan pangan tidak hanya berdampak ekonomi

tapi juga mengancam keamanan sosial. Seperti yang disebutkan sebelumnya,

ketersediaan pangan melalui peningkatan pangan negeri dihadapkan pada masalah

utama yaitu semakin terbatas dan menurunnya kapasitas produksi karena

banyaknya lahan pertanian yang beralih fungsi. Untuk mewujudkan ketahanan

pangan setidaknya terdapat tiga pilar utama yang perlu diperhatikan (DKP, 2009):

pertama, ketersediaan pangan yakni di seluruh wilayah Indonesia tersedia pangan

secara fisik yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor, atau

perdagangan, maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan dapat dihitung pada

skala nasional, provinsi, kabupaten, atau tingkat masyarakat. Kedua, akses pangan

yaitu seluruh rumah tangga di Indonesia mampu memperoleh cukup pangan baik

yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman, dan

bantuan pangan atau kombinasi dari kelimanya. Walau begitu, apabila ketersediaan

pangan di suatu daerah dikatakan cukup belum tentu semua rumah tangga

mempunyai akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan

melalui mekanisme tersebut di atas. Ketiga, pemanfaatan pangan yakni penggunaan

pangan oleh rumah tangga, dan kemampuan menyerap dan memetabolisme zat gizi.

Pemanfaatan pangan terdiri dari cara penyimpanan, pengolahan, dan penyiapan

makanan termasuk penggunaan air selama proses pengolahannya serta kondisi


kebersihan, distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-

masing individu dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga.


Namun saat ini, permasalahan lahan pertanian bukanlah menjadi hambatan bagi

Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan karena di era revolusi industri 4.0

begitu banyak inovasi seperti pertanian di dalam ruangan dan sistem pertanian

terpadu. Sesuai dengan namanya, pertanian di dalam ruangan merupakan kegiatan

bertani di dalam sebuah ruangan tertutup yang suhu, kelembaban, dan juga cahaya

dikontrol dengan teknologi canggih sehingga para petani tidak perlu turun ke lahan

dan panas-panasan di bawah terik matahari. Pertanian di dalam ruangan atau indoor

farming memiliki tujuan untuk meningkatkan produktifitas secara signifikan.

Untuk model pertaniannya, indoor farming memiliki beberapa pilihan yaitu

hidroponik, aquaponik, dan aeroponik. Berdasarkan dari buku Tips Sukses Menjadi

Petani Modern yang ditulis oleh Siti Nur Aidah pada tahun 2020, menyebutkan

bahwa keunggulan dari indoor farming adalah pertama, bisa dilakukan di banyak

tempat tanpa memerlukan lahan yang luas seperti apartemen, truk container, atap

rumah. Kedua, tidak perlu takut gagal panen karena pertanian di lakukan di dalam

ruangan tertutup sehingga perubahan cuaca atau hujan tidak akan mempengaruhi

tanaman. Ketiga, keuntungan yang melimpah karena mampu meningkatkan

produktivitas. Di Negara Singapura indoor farming mampu menghasilkan 54 ton

sayuran setiap tahunnya, sementara di Indonesia sendiri belum dilakukan dalam

skala industri besar. Keempat, hasil pertanian indoor farming lebih baik bahkan dari

pertanian organik, terutama model pertanian aquaponik yang tidak bisa memakai

bahan kimia kalau tidak ingin ikan di bawahnya mati. Namun di satu sisi, indoor

farming juga tetep memiliki kelemahan karena seluruh sistemnya menggunakan

teknologi canggih, software dan hardware untuk mengontrol suhu, kelembaban dan

juga cahaya maka untuk bisa menjalankan sistem tersebut membutuhkan biaya

yang mahal.


Untuk mengembangkan dan mempertahankan stabilitas pendapatan petani salah

satu upaya yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan sistem pertanian

terpadu. Sistem pertanian terpadu adalah suatu kesatuan sistem berupa konsep

pengembangan usaha pertanian yang melibatkan berbagai cabang usaha tani baik

dalam penggunaan input maupun dalam tingkat output yang akan dihasilkan.


Kemampuan memadukan berbagai kombinasi cabang usaha tani yang dapat

memberikan interaksi atau keterkaitan yang saling mendukung dan menguntungkan

merupakan sebuah tuntutan bagi petani (Sulistyono, 2019). Konsep pada sistem

pertanian terpadu menerapkan siklus materi di mana materi yang merupakan limbah

dari suatu cabang usaha tani digunakan kembali sebagai bahan dasar pada usaha

tani lainnya. Contoh sederhanya yaitu integrasi pertanian dengan peternakan di

mana limbah atau kotoran dari ternak dikonversi menjadi pupuk, lalu timbal

baliknya adalah jerami yang dihasilkan bisa menjadi pakan ternak. Selain itu juga

sisa tanaman seperti sekam padi atau bonggol jagung bisa dikonversikan menjadi

energi terbarukan, sehingga dalam hal ini sistem pertanian terpadu menekankan

konsep zero waste sehingga berdampak baik pada lingkungan. Jika ditinjau dari

segi ekonomi, sistem pertanian terpadu menerapkan konsep modal atau biaya

menjadi lebih rendah dari pada pendapatan. Hal tersebut dapat terwujud karena

dengan menggunakan kembali limbah sebagai bahan dasar untuk cabang usaha tani

yang lainnya atau menjadi usaha tani yang baru maka dapat mengurangi biaya untuk

memenuhi kebutuhan usaha tani tersebut tanpa mengurangi pendapatan yang

diperoleh bahkan bisa meningkatkan jumlah pendapatan (Rizkulloh, 2014).


Berdasarkan penjelasan di atas, indoor farming dan sistem pertanian terpadu

menjadi sebuah kolaborasi yang saling mendukung satu sama lain dan menutupi

kelemahan yang ada. Berdasarkan artikel “As high-rise farms go global, Japan’s

Spread leads the way” yang ditulis oleh Aya Takada menjelaskan bahwa

perkebunan teknologi milik Spread Co yang menerapkan pertanian vertikal

menghasilkan 648 kepala salada per meter persegi, dibandingkan dengan pertanian

Kamoeka dan hanya 5 di pertanian luar ruangan. Dari hal tersebut dapat dilihat

bahwa indoor farming jauh lebih menguntungkan dari pada pertanian di luar

ruangan. Jika indoor farming dan sistem pertanian terpadu dikolaborasikan akan

mendapatkan banyak keuntungan baik dari segi ekonomi maupun sosialnya.


Dalam mewujudkan ketahananan pangan Indonesia maka perlu yang namanya

peran pemerintah karena sebagai pemangku kebijakan utama dalam pembangunan.

Upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah adalah pemberian lahan khusus untuk


pertanian vertikal sebagai bentuk efisiensi lahan. Selain itu, pemerintah dapat


memberikan kucuran modal uang bagi para petani supaya dapat membeli peralatan-

peralatan sebagai investasi dalam melaksanakan produksi pertanian. Selain itu,


untuk mendukung sistem pertanian ini dibentuk pula organisasi atau kelompok tani

yang berguna untuk menghimpun dan memfasilitasi para petani yang ingin

mempelajari bagaimana manajemen sistem pertanian terpadu di dalam ruangan

untuk kota.


Generasi muda pun turut andil karena berdasarkan hasil sensus penduduk tahun

2020 oleh BPS memaparkan gambaran tentang demografi Indonesia yang

menunjukkan banyak perubahan dari hasil sebelumnya di tahun 2010. Selaras

dengan prediksi dan analisis dari berbagai kalangan, Indonesia sedang berada dalam

masa pertumbuhan ekonomi yang tercipta akibat perubahan struktur umur

penduduk, di mana proporsi penduduk yang masuk dalam usia produktif lebih

banyak dari pada proporsi penduduk yang usianya tidak produktif. Generasi muda

sebagai generasi pembelajar dapat membantu dengan cara menggali ilmu dan

wawasan dari berbagai literatur yang ada sehingga apabila terdapat permasalahan

di sekitar, generasi muda akan memunculkan ide-ide kreatif yang dapat

diimplementasikan untuk menanggulangi dampak-dampak yang ada. Selain itu

generasi muda juga dapat berkontribusi dalam ketahanan pangan dengan selalu

mencintai produk-produk dalam negeri. Dalam hal ini, generasi muda menjadi

investasi besar bagi negara yang tentunya harus diperdayakan dengan baik.


Kesimpulan

Berdasarkan analisis-analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa peningkatan

jumlah penduduk yang diikuti upaya pemenuhan tempat tinggal akan berpotensi

meningkatnya alih fungsi lahan dan akan berdampak pada ketahanan pangan.

Sistem pertanian terpadu di dalam ruangan pun menjadi solusi dalam mewujudkan

ketahanan pangan walau tidak memiliki lahan yang luas. Keuntungan yang didapat

yaitu produktivitas pertanian meningkat, tidak memerlukan lahan yang luas,

menghasilkan sumber makanan yang sehat dan bebas hama, tidak takut gagal


panen, ramah lingkungan, serta mampu mengembangkan dan mempertahankan

stabilitas pendapatan bagi petani itu sendiri. Dengan begitu kota yang memiliki

sedikit lahan atau bahkan tidak memiliki lahan untuk bertani justru dapat turut andil

dalam mewujudkan ketahanan pangan dengan menerapkan sistem pertanian

terpadu di dalam ruangan. Tidak lupa untuk mendukung berjalannya program

tersebut tentunya perlu peran dari pemerintah, masyarakat, dan generasi muda yang

nantinya akan menjadi penerus bangsa ini.


DAFTAR PUSTAKA


Aidah, S. N. dan Tim Penerbit KBM Indonesia. 2020. Tips Sukses Menjadi Petani

Modern. Penerbit KBM Indonesia. Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik. 2009. Jumlah Penduduk Hasil Sensus Penduduk Inonesia

Menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000, dan 2010.


https://www.bps.go.id/statictable/2009/02/20/1267/penduduk-indonesia-

menurut-provinsi-1971-1980-1990-1995-2000-dan-2010.html. Diakses


pada tanggal 22 November 2021.

Badan Pusat Statistik. 2021. Hasil Sensus Penduduk 2020.


https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/01/21/1854/hasil-sensus-

penduduk-2020.html. Diakses pada tanggal 22 November 2021.


Berita Indonesia. 2007. Tak Bisa Hidup Tanpa Beras – Jutaan Hektar Sawah


Dikonversi. http//www.berita Indonesia.co.id/berita utama/tak-bisahidup-

tanpa. Diakses pada tanggal 22 November 2021.


Dewan Ketahanan Pangan. 2009. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan

Indonesia. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan-BKP Deptan. Jakarta.

Ginting, M. 2005. Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Alih Fungsi Lahan

Pertanian Padi Sawah Terhadap Pendapaan Petani (Studi Kasus di Desa

Munte Kabupaten Karo).Tesis.Program Pascasarjana Sumatera Utara.

Nurcholis, M., & Supangkat, G. (2011). Pengumuman Integrated Farming System

Untuk Pengendalian Alih Fungsi Lahan Pertanian. Urgensi dan Strategi,

71-83

Rizkulloh, M. N. 2014. Smart-Integrated Farming System, Sistem Pembangunan

Pertanian Menuju Indonesia Negeri Mandiri Pamgan.


https://hmrh.sith.itb.ac.id/smart-integrated-farming-system-sistem-

pembangunan-pertanian-menuju-indonesia-negeri-mandiri-pangan/.


Diakses pada tanggal 22 November 2021.

Sulistyono, N. B. E. 2019. Sistem Pertanian Terpadu Yang Berkelanjutan.

Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.


Takada, A. 2018. As high-rise farms go global, Japan's Spread leads the way.


https://www.japantimes.co.jp/news/2018/11/01/business/tech/high-rise-

farms-go-global-japans-spread-leads-way/#.XAQbli3MyRs. Diakses


pada tanggal 22 November 2021.


0 comments:

Posting Komentar

Postingan Populer