Sabtu, 04 Desember 2021

LAWAN KEKERASAN SEKSUAL DI PERGURUAN TINGGI UNTUK MEWUJUDKAN INDONESIA EMAS 2045

ESAI


Wanda Berlianti Lotus Pendidikan Bahasa Inggris/2113042021

Attika Nur Aisah Teknologi Hasil Pertanian/2114231032


Indonesia merupakan salah satu Negara dimana memiliki banyak sekali

masyarakat, mulai dari pelajar, tenaga pendidik, dan pekerja yang berintelektual,

bertalenta, cerdas, kreatif, dan inovatif. Berfokus kepada siswa, mahasiswa, guru,

dan dosen pun ikut berperan aktif membawa Indonesia kepada sebuah perubahan

yang baik. Dengan bekal kemampuan, kelebihan, dan semangat dari pihak

tersebut, Indonesia Emas 2045, merupakan tujuan yang hendak dicapai guna

terwujudnya Indonesia maju dan merdeka. Hal tersebut kemudian dijalankan

terutama dalam bidang pendidikan dan kebudayaan. Berbagai macam bentuk

program dan kegiatan pun diluncurkan sebagai bentuk upaya untuk

merealisasikannya.

Sebelum menuju kepada pembahasan yang lebih jauh, terdapat poin

penting yang harus diketahui dengan seksama. Hal tersebut merupakan arti dari

pendidikan itu sendiri. Pendidikan merupakan pembelajaran pengetahuan,

keterampilan, dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu generasi

ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan, atau penelitian. Adanya

pendidikan di suatu Negara terutama Indonesia bukan tanpa alasan. Membangun

serta mengembangkan minat dan bakat individu, membantu melestarikan

kebudayaan masyarakat, menanamkan keterampilan yang dibutuhkan dalam

keikutsertaan dalam berdemokrasi, menjadi sumber inovasi sosial di masyarakat,

merupakan beberapa fungsi dari pendidikan itu sendiri. Melalui hal ini, upaya

untuk merealisasikan tujuan Indonesia akan terwujud apabila dilakukan dengan

baik.

Dalam pelaksanaannya, terdapat banyak sekali pihak yang berperan seperti

dua diantaranya adalah mahasiswa dan juga dosen di perguruan tinggi. Mahasiswa

merupakan sebutan untuk seseorang yang sedang menempuh atau menjalani

pendidikan di sebuah perguruan tinggi seperti sekolah tinggi, akademi, dan

universitas. Kata mahasiswa itu sendiri sebenarnya terdiri dari dua suku kata yaitu

maha dan siswa. Dimana maha memiliki arti “ter” dan siswa berarti “pelajar”,

sehingga mahasiswa memiliki arti terpelajar. Menurut agent of change,

mahasiswa tidak hanya disebut sebagai seseorang yang sedang menjalani

pendidikan saja, namun juga bertindak sebagai penggerak yang mengajak seluruh

masyarakat untuk dapat bergerak dalam melakukan perubahan ke arah yang lebih


baik, dengan pertimbangan berbagai ilmu, gagasan, serta pengetahuan. Dalam

proses pembelajaran, mahasiswa juga didukung oleh peranan seorang dosen.

Dosen merupakan tenaga pendidik professional di satuan pendidikan tinggi yang

memiliki tugas dan tanggung jawab sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, maka harus tercipta lingkungan

belajar yang sehat, nyaman, dan aman. Nyatanya, tidak semua hal tersebut tercipta

atau terbangun di lingkungan belajar beberapa mahasiswa Indonesia. Seperti yang

telah diketahui, sering terdengar berita bullying, pemerasan, hingga pelecehan

seksual yang membuat resah.

Akhir-akhir ini, terdapat masalah yang menjadi fokus pemerintah terutama

bagi Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia

yaitu pelecehan seksual. Merujuk pada survei yang dilakukan Kemendikbud pada

2020, sebanyak 77% dosen di Indonesia mengatakan bahwa kekerasan seksual

pernah terjadi di kampus. Namun, 63% diantaranya tidak melaporkan kejadian itu

karena khawatir terhadap stigma negatif. Selain itu, data Komisi Nasional

Perempuan menunjukkan terdapat 27% aduan kekerasan seksual di lingkup

perguruan tinggi berdasarkan laporan yang dirilis pada Oktober 2020. Salah satu

contohnya terjadi pada seorang mahasiswi di suatu universitas pada tanggal 27

Oktober 2021. Kejadian ini telah tersebar secara luas dan cepat di media sosial

karena korban memberanikan diri untuk menceritakannya sepekan setelah hal

tersebut terjadi dalam bentuk video pengakuan berdurasi 13 menit.

Menurut PerMendikbud-Ristek Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021

tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan perguruan

tinggi pasal 1 ayat (1) Kekerasan Seksual adalah setiap perbuatan merendahkan,

menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi

seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau

dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu

kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan

tinggi dengan aman dan optimal.

Lantas, secara umum faktor penyebab terjadinya pelecehan seksual di

kampus itu terdiri dari, faktor natural atau biologis dimana laki-laki memiliki

dorongan yang lebih tinggi untuk melakukan tindakan terhadap perempuan


sehingga memicu dua kemungkinan reaksi yang diberikan yaitu perasaan

tersanjung atau terganggu dan terhina. Kedua, faktor sosial budaya yang

menjelaskan bahwa adanya ketimpangan gender serta relasi kuasa, sehinga korban

biasanya merasa terpaksa, takut, tidak berani menolak, dan hanya diam seperti

yang telah dijelaskan sebelumnya.

Permasalahan ini kemudian menjadi masalah serius yang harus segera

dicarikan solusinya. Hingga terbitlah PerMendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun

2021 tentang Pencegahan dan Penanganan kekerasan Seksual di Perguruan

Tinggi. Peraturan ini dipandang sebagai suatu langkah yang progresif oleh

sejumlah pihak di tengah keresahan akan tingginya kekerasan seksual di lingkup

perguruan tinggi. Berikut merupakan penjelasan dari bentuk kekerasan seksual

yang salah satunya diterima oleh korban secara jelas terdapat pada pasal 5 ayat (1)

menyatakan bahwa ) Kekerasan Seksual mencakup tindakan yang dilakukan

secara verbal, nonfisik, fisik, atau melalui teknologi informasi dan komunikasi

dan dijabarkan pada ayat (2) meliputi menyampaikan ujaran yang

mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, atau identitas

gender Korban, memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa

persetujuan Korban, menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, atau

siulan yang bernuansa seksual pada Korban, menatap Korban dengan nuansa

seksual dan/atau tidak nyaman, dan lain sebagainya.

Hal tersebut seharusnya tidak boleh terjadi pada siapapun, terutama pada

mahasiswa di lingkungan belajar. Perbuatan tersebut tidak mencerminkan perilaku

yang baik dan justru membawa pengaruh buruk bagi korban secara mental.

Trauma yang diakibatkan menjadikan suatu penghalang bagi korban untuk

bertemu dengan orang banyak. Apabila hal tersebut dibiarkan begitu saja, selain

kesehatan mental korban, pendidikan di Indonesia juga akan mengalami dampak

buruknya. Terlebih dikarenakan mahasiswa merasa tempatnya belajar bukanlah

ruang yang aman.

Bagaimana pemerintah menanggapi permasalahan yang terjadi, telah

diwakilkan oleh Kemendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 pasal 6 ayat (1a),

(1b), dan (1c). Pencegahan melalui pembelajaran sebagaimana yang dimaksud

pada ayat (1a) dilakukan oleh Pemimpin Perguruan Tinggi dengan mewajibkan


Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga Kependidikan untuk mempelajari modul

Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang ditetapkan oleh

Kementerian. Hal ini tercantum dalam pasal 6 ayat (2) Pencegahan dengan cara

penguatan tata kelola pada pasal 6 ayat (3) adalah dengan membatasi pertemuan

antara Mahasiswa dengan Pendidik atau Tenaga Kependidikan di luar jam

operasional kampus atau luar area kampus, menyediakan layanan pelaporan

Kekerasan Seksual, melatih Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan

Warga Kampus terkait upaya Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Terlepas dari bentuk upaya yang diberikan pemerintah, hal tersebut juga menjadi

upaya yang harus dilakukan dan didukung oleh mahasiswa dan dosen di

perguruan tinggi.

Selain itu, Kemendikbud juga telah menyatakan upaya yang seharusnya

dilakukan oleh pihak kampus dalam menyikapi kasus kekerasan seksual ini

dengan berpegang pada empat prinsip yaitu, cegah dengan mempromosikan dan

mengedukasi tentang kampus sehat, memberikan kemudahan dan keamanan

dalam melaporkan kasus, memberikan perlindungan bagi pelapor dan penyintas,

serta menindak lanjuti laporan yang ada. Hal tersebut bertujuan untuk memastikan

kampus menjadi ruang yang sehat, aman dan nyaman, membangunm asyarakat

yang bebas dari kekerasan seksual yang dimulai dari kampus yang sehat secara

holistik. Untuk mewujudkannya, regulasi harus diperkuat, menciptakan budaya

yang zero toleransi untuk kekerasan, mengintegrasi HKP dalam kurikulum,

menyosialisasikan pemahaman agama, dan meningkatkan kecerdasan digital.

Tanggapan dari sejumlah pihak terhadap upaya yang telah dilakukan

berupa adanya peraturan Nomor 30 Tahun 2021 oleh Kemendikbud-Ristek ini

dapat memberikan kepastian hukum bagi pemimpin perguruan tinggi dalam

mengambil langkah yang tegas untuk menindak kasus kekerasan seksual di

lingkungan kampus. Dengan demikian, menciptakan lingkungan belajar yang

sehat, aman, dan nyaman harus kembali ditegaskan. Apabila hal tersebut telah

terbangun, mahasiswa dan dosen dapat kembali menjalani kehidupan kampus

dengan semangat yang baru. Kampus yang sehat akan menciptakan generasi muda

yang berkualitas, berintegritas, berintelektual, cerdas, kreatif, dan inovatif,

sehingga tujuan Indonesia Emas 2045 akan terwujud.


0 comments:

Posting Komentar

Postingan Populer