Sabtu, 06 Desember 2025

SAMAGI (Sustainable Maggot Integration Initiative): Rancangan Pengelolaan Limbah MBG melalui Integrasi Biokonversi dan Edukasi Lingkungan

 PENDAHULUAN 

Permasalahan limbah kini menjadi isu global yang terus meningkat seiring  pertumbuhan populasi dan pola konsumsi manusia. Setiap aktivitas produksi dan konsumsi  menghasilkan limbah padat yang jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak  lingkungan serius. Indonesia, sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, kini  dihadapkan pada krisis peningkatan volume sampah yang kian mengkhawatirkan dan  mengancam keberlanjutan lingkungan. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan  Sampah Nasional (SIPSN), pada tahun 2024 Indonesia menghasilkan lebih dari 32 juta ton  sampah. Adapun sekitar 67% dari total sampah tersebut tidak terkelola dan masi berakhir di  tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dengan sistem terbuka. Praktik ini tidak hanya  menyebabkan penumpukan sampah, tetapi juga menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti  metana (CH₄) yang berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global. Selain itu,  pengelolaan limbah yang tidak efisien menimbulkan pencemaran air tanah, bau tidak sedap,  serta risiko kesehatan masyarakat. 

Dari keseluruhan timbulan sampah tersebut, limbah organik menjadi komponen  terbesar dan paling menantang untuk ditangani. Berdasarkan data Sistem Informasi  Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (KLHK) di tahun 2024, sisa makanan menyumbang sebanyak 33,38% dari total keseluruhan  sampah.  

Permasalahan ini semakin relevan dalam konteks pelaksanaan program Makan Bergizi  Gratis (MBG), yang digarap pemerintah sebagai upaya meningkatkan ketahanan gizi anak  sekolah dan di Indonesia. Program ini, meski memiliki nilai sosial tinggi, berpotensi  menimbulkan timbulan limbah organik baru dalam jumlah besar, terutama dari sisa makanan  dan kegiatan dapur. Berdasarkan keterangan PPID Kota Cimahi, Program Makan Bergizi  Gratis (MBG) meninggalkan jejak karbon di Kota Cimahi, Jawa Barat. Makanan yang  seharusnya habis dikonsumsi sekali makan siang ternyata masih tersisa dalam jumlah  signifikan, sehingga sampah makanan mulai menumpuk sejak peluncuran program makan  siang bergizi gratis pada Senin (6 Januari 2025). 

Dalam skala nasional, ketika jutaan porsi makanan disiapkan setiap hari, sisa makanan  dan bahan olahan berpotensi menjadi persoalan serius jika tidak dikelola dengan pendekatan  berkelanjutan. Oleh karena itu, pengelolaan sampah organik secara profesional menjadi sangat  mendesak, mengubah limbah menjadi produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis, 

sekaligus menanamkan literasi lingkungan pada peserta didik untuk membentuk kesadaran dan  kebiasaan berkelanjutan sejak dini (Fajri and Harmayani, 2020). 

Selain menjadi tantangan lingkungan, sisa makanan dan bahan olahan menyimpan  kandungan nutrien yang tinggi, seperti protein kasar 10,89-15,58%, lemak 7,77-9,70% dan  serat kasar 4,88-9,13%, sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan bahan pakan alternatif  sumber protein dan energi untuk pertumbuhan tanaman dan organisme lain (Andriani et al.,  2021). Jumlah limbah organik yang homogen dan relatif konsisten di sekolah dan institusi  pendidikan memungkinkan pengolahan yang terstruktur dan efisien. Hal ini menunjukkan  bahwa di balik volume limbah yang besar terdapat nilai biologis dan ekonomi yang belum  tergarap, yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pendidikan, pembelajaran  tentang siklus materi, dan pengembangan praktik berkelanjutan di lingkungan sekolah. Dengan  kata lain, setiap timbunan sisa makanan bukan hanya menjadi masalah, tetapi juga menyimpan  kesempatan untuk menciptakan manfaat yang signifikan bagi lingkungan dan masyarakat. 

Berbagai daerah di Indonesia telah mulai menunjukkan kepedulian terhadap  pengelolaan limbah makanan, terutama yang berasal dari program pemerintah berskala besar.  Salah satu contoh positif datang dari Pemerintah Provinsi Lampung, yang telah menginisiasi  pengolahan limbah makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi pupuk  organik cair. Langkah ini memperlihatkan bahwa pelaksanaan program MBG tidak hanya  berfokus pada pemenuhan gizi masyarakat, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan  lingkungan. Pendekatan semacam ini menjadi bukti bahwa pengelolaan limbah makanan dapat  dikembangkan secara kreatif dan produktif, sekaligus membuka peluang bagi munculnya  gagasan baru yang mengintegrasikan nilai ekologis, sosial, dan edukatif dalam satu sistem  keberlanjutan yang terpadu. Salah satu metode yang mendapat perhatian luas adalah  biokonversi limbah menggunakan larva lalat tentara hitam (Black Soldier Fly/BSF) (Maulana  et al., 2022). 

Melalui rancangan SAMAGI (Sustainable Maggot Integration Initiative), pengelolaan limbah  dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) diarahkan menjadi sistem yang tidak hanya  menyelesaikan masalah sampah makanan, tetapi juga memberi manfaat baru bagi lingkungan  dan masyarakat. Dalam gagasan ini, maggot (larva Black Soldier Fly) digunakan sebagai  pengurai alami untuk mengubah sisa makanan menjadi pupuk organik dan pakan bernilai  tinggi. Proses ini membantu mengurangi penumpukan limbah, menekan pencemaran, dan  menghasilkan produk yang bisa dimanfaatkan kembali oleh masyarakat sekitar.

Lebih dari sekadar pengolahan, SAMAGI juga menumbuhkan kesadaran dan kebiasaan peduli  lingkungan melalui kegiatan sederhana seperti memilah sampah dan memanfaatkan hasil  biokonversi. Dengan cara ini, pengelolaan limbah bukan hanya tanggung jawab teknis, tetapi  juga bagian dari pembelajaran sosial yang memperkuat nilai keberlanjutan dalam pelaksanaan  program MBG. Gagasan ini diharapkan dapat menjadi contoh nyata bahwa sisa makanan bukan  akhir dari proses pangan, melainkan awal dari siklus baru yang bermanfaat bagi manusia dan  alam. 

PEMBAHASAN  

SAMAGI (Sustainable Maggot Integration Initiative) adalah inisiatif integrasi maggot  yang berkelanjutan yang bertujuan untuk mengelola limbah organik dari program Makan  Bergizi Gratis (MBG) melalui sistem biokonversi yang menggunakan maggot atau larva lalat  tentara hitam (BSF). Untuk mengubah sisa makanan menjadi produk bernilai guna seperti  pupuk organik dan pakan ternak alami, program ini menggunakan teknologi sederhana,  pendidikan lingkungan, dan ekonomi sirkular. Menurut Sukardi dan Setyawan (2024) larva  BSF memiliki kemampuan biologis tinggi untuk menghancurkan limbah organik dengan  efisiensi hingga 70-80% dan menghasilkan frass, atau residu maggot, yang kaya akan hara dan  dapat digunakan sebagai pupuk. Oleh karena itu, SAMAGI bukan hanya solusi pengelolaan  limbah MBG tetapi juga media untuk mengajarkan siswa prinsip keberlanjutan sekolah.  

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN,2024), sisa  makanan menyumbang 33,38% dari sampah nasional, ini adalah alasan utama program ini.  Biokonversi Maggot dapat mengurangi volume limbah organik secara signifikan. Studi oleh  Ramadhani et al. (2024) menemukan bahwa teknologi maggot dapat menghasilkan pupuk siap  jual dan menurunkan volume sampah organik hingga 75% di Desa Bilok Petung, Lombok  Timur. Hal ini menujukkan bahwa metode biokonversi memiliki potensi besar untuk  disesuaikan dengan lingkungan sekolah. Selain itu, SAMAGI mematuhi Tujuan Pembangunan  Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab)  dan 13 (Penanganan Perubahan Iklim), dengan mengurangi emisi metana dari timbunan  sampah. Jika diterapkan secara luas di sekolah-sekolah pelaksana MBG, metode ini berpotensi  mengurangi beban TPA hingga ribuan ton per tahun serta mendukung ekonomi sirkular  berbasis masyarakat.

 Melihat potensi besar biokonversi limbah organik menggunakan larva Black Soldier  Fly((BSF), program SAMAGI (Sustainable Maggot Integration Initiative) tidak hanya menjadi  solusi terhadap penumpukan sampah dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), tetapi juga  menghadirkan model pengelolaan limbah yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan bernilai  ekonomi. Dalam konteks ini, SAMAGI memiliki sejumlah kelebihan utama yang  menjadikannya unggul dibandingkan metode pengelolaan limbah konvensional seperti  pengomposan terbuka. 

Salah satu keunggulan paling menonjol dari SAMAGI adalah efisiensi ekologis dan kecepatan  proses biokonversi. Larva BSF mampu mengurai limbah organik lebih cepat dibandingkan  pengomposan terbuka yang dapat memakan waktu berbulan-bulan. Proses ini berlangsung  secara aerobik, sehingga tidak menghasilkan gas metana (CH₄) maupun bau busuk yang umum  muncul pada sistem penguraian terbuka. Dengan demikian, SAMAGI berperan langsung dalam  menekan emisi gas rumah kaca dan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan  Berkelanjutan (SDGs). 

 Selain keunggulan ekologis, program ini juga memiliki efisiensi ekonomi dan sosial yang  tinggi. Proses biokonversi maggot tidak memerlukan teknologi mahal maupun peralatan  kompleks, sehingga dapat diterapkan di lingkungan sekolah, pesantren, maupun komunitas  masyarakat dengan biaya rendah. Hasil biokonversi berupa pupuk organik dan pakan ternak  dapat dimanfaatkan kembali di kebun sekolah atau dijual sebagai produk ekonomi sirkular.  Dengan demikian, program ini tidak hanya mengurangi timbulan sampah, tetapi juga  menciptakan nilai tambah ekonomi dan memperkuat kemandirian finansial lingkungan  pendidikan. 

 Dari sisi sosial dan edukatif, SAMAGI memiliki nilai pembelajaran yang sangat tinggi.  Melalui keterlibatan langsung dalam proses pengumpulan, pengolahan, hingga pemanfaatan  hasil biokonversi, siswa dapat memahami konsep daur ulang, efisiensi sumber daya, dan  tanggung jawab ekologis secara nyata. Program ini juga mendorong implementasi  pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) yang relevan dengan kehidupan sehari 

hari, serta menumbuhkan karakter peduli lingkungan dan sikap ilmiah di kalangan peserta  didik. Dengan demikian, SAMAGI bukan hanya solusi teknis terhadap limbah organik, tetapi 

juga sarana pendidikan karakter lingkungan yang memperkuat budaya sekolah hijau (green  school culture). 

 Namun demikian, pelaksanaan program ini tidak terlepas dari beberapa tantangan yang  perlu diantisipasi. Salah satu kendala utama adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan  teknis dalam budidaya maggot, terutama bagi pihak sekolah atau masyarakat yang baru  mengenal sistem biokonversi. Tanpa pelatihan dan pendampingan yang memadai, proses  budidaya bisa terganggu dan produktivitas maggot menurun. Selain itu, program ini  membutuhkan ruang pengolahan yang memenuhi standar kebersihan dan sanitasi, agar tidak  menimbulkan persepsi negatif dari lingkungan sekitar. Tantangan lain yang cukup signifikan  adalah tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam memilah limbah organik dan  menjaga konsistensi pasokan bahan baku untuk koloni maggot. 

 Kendati demikian, seluruh tantangan tersebut dapat diatasi melalui strategi yang terencana  dan kolaboratif. Pelatihan rutin mengenai teknik budidaya maggot dan pengelolaan limbah  organik dapat dilakukan bekerja sama dengan perguruan tinggi atau Dinas Lingkungan Hidup.  Sementara itu, kegiatan sosialisasi dan pembentukan komunitas lingkungan akan memperkuat  rasa tanggung jawab kolektif dan memastikan keberlanjutan program. Dengan pendekatan  yang partisipatif dan edukatif, kelemahan yang ada bukan menjadi hambatan, melainkan  peluang untuk memperkuat sistem pengelolaan limbah berbasis sekolah yang mandiri dan  berkelanjutan. 

Adapun thapan pelaksanaan SAMAGI dirancang agar mudah diterapkan di lingkungan sekolah  dengan langkah-langkah berikut.: 

1. Pengumpulan Limbah: setiap hari, sisa makanan dari dapur MBG dan konsumsi peserta  didik dikumpulkan. 

2. Proses Biokonversi: limbah difermentasi dan diberikan pada koloni maggot untuk  diurai. 

3. Pemanenan: larva maggot dan residu hasil olahan diambil 

4. Pengelolaan Lanjutan: residu dikeringkan dan diolah menjadi pupuk cair atau padat. 5. Distribusi dan Edukasi: hasil produk digunakan untuk kebun sekolah, dijual, dan  digunakan untuk mengajar ekonomi sirkular. 

Skema SAMAGI mengikuti model Circular Economy, di mana limbah organik diproses  menjadi produk baru yang kembali digunakan di lingkungan sekolah. 

Skema alur sederhana: 

Gambar 1. Alur sederhana SAMAGI 

Sisa makanan dari program MBG dikumpulkan, lalu diolah melalui proses biokonversi  maggot untuk menghasilkan pupuk organik dan pakan ternak. Produk tersebut dimanfaatkan  kembali di kebun sekolah sebagai bentuk penerapan ekonomi sirkular. Selain menciptakan  lingkungan bersih, program ini juga menjadi media edukasi lingkungan bagi siswa dan dapat  direplikasi ke sekolah lain sebagai model pengelolaan limbah berkelanjutan. 

 Keberlanjutan program dijamin melalui pembentukan Tim Eco-SAMAGI yang dikelola  oleh siswa dan guru sebagai penggerak utama kegiatan lingkungan sekolah. 

Gambar 2. Logo Komunitas Tim Eco-SAMAGI 

Untuk memastikan pendampingan yang berkelanjutan, program ini juga mendapat bantuan  teknis dari Dinas Lingkungan Hidup dan perguruan tinggi setempat. Selain itu, prinsip  ekopreneurship diterapkan dengan menjual hasil produksi pupuk dan pakan maggot untuk  mendapatkan dana untuk menjalankan bisnis sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian Izati et  al. (2024), yang menyatakan bahwa sistem berbasis komunitas sangat penting untuk  pengelolaan sampah organik yang berkelanjutan dengan BSF.

Pihak yang berperan penting dalam implementasi gagasan ini meliputi: 

1. Pemerintah Daerah dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), sebagai regulator dan  penyedia fasilitas. 

2. Sekolah dan Guru, sebagai pelaksana edukasi lingkungan. 

3. Siswa dan Komunitas Sekolah, sebagai pelaku utama dan agen perubahan. 4. Perguruan Tinggi dan LSM, sebagai mitra riset, pelatihan, dan monitoring  keberlanjutan  

KESIMPULAN  

Program SAMAGI menggunakan larva Black Soldier Fly (BSF) untuk mengelola  limbah organik. Pendekatan ekonomi sirkular dan biokonversi mengubah limbah menjadi  pupuk dan pakan ternak sekaligus menjadi media untuk mengajarkan siswa tentang  lingkungan. Dengan mendukung pencapaian SDGs 12 dan 13, program ini memiliki  kemampuan untuk mengurangi sampah organik hingga 70% dan meningkatkan kesadaran  ekologis. SAMAGI dapat menjadi model sekolah hijau berkelanjutan di Indonesia jika  pemerintah dan sekolah mendukungnya. 

Dengan demikian, SAMAGI tidak hanya menjawab tantangan pengelolaan limbah  MBG, tetapi juga menjadi sarana pendidikan karakter lingkungan dan wujud nyata kontribusi  generasi muda terhadap pembangunan berkelanjutan



Ditulis oleh:

Nur Fadillah (2413034090) 

Asyifa Kamila Marwa (2415041069) 

Shela Khanaya Putri (2511021009) 

Anggi Dwi Rahmadani (2515011083)

0 comments:

Posting Komentar

Postingan Populer