PENDAHULUAN
Permasalahan limbah kini menjadi isu global yang terus meningkat seiring pertumbuhan populasi dan pola konsumsi manusia. Setiap aktivitas produksi dan konsumsi menghasilkan limbah padat yang jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak lingkungan serius. Indonesia, sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, kini dihadapkan pada krisis peningkatan volume sampah yang kian mengkhawatirkan dan mengancam keberlanjutan lingkungan. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), pada tahun 2024 Indonesia menghasilkan lebih dari 32 juta ton sampah. Adapun sekitar 67% dari total sampah tersebut tidak terkelola dan masi berakhir di tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dengan sistem terbuka. Praktik ini tidak hanya menyebabkan penumpukan sampah, tetapi juga menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti metana (CH₄) yang berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global. Selain itu, pengelolaan limbah yang tidak efisien menimbulkan pencemaran air tanah, bau tidak sedap, serta risiko kesehatan masyarakat.
Dari keseluruhan timbulan sampah tersebut, limbah organik menjadi komponen terbesar dan paling menantang untuk ditangani. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di tahun 2024, sisa makanan menyumbang sebanyak 33,38% dari total keseluruhan sampah.
Permasalahan ini semakin relevan dalam konteks pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang digarap pemerintah sebagai upaya meningkatkan ketahanan gizi anak sekolah dan di Indonesia. Program ini, meski memiliki nilai sosial tinggi, berpotensi menimbulkan timbulan limbah organik baru dalam jumlah besar, terutama dari sisa makanan dan kegiatan dapur. Berdasarkan keterangan PPID Kota Cimahi, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) meninggalkan jejak karbon di Kota Cimahi, Jawa Barat. Makanan yang seharusnya habis dikonsumsi sekali makan siang ternyata masih tersisa dalam jumlah signifikan, sehingga sampah makanan mulai menumpuk sejak peluncuran program makan siang bergizi gratis pada Senin (6 Januari 2025).
Dalam skala nasional, ketika jutaan porsi makanan disiapkan setiap hari, sisa makanan dan bahan olahan berpotensi menjadi persoalan serius jika tidak dikelola dengan pendekatan berkelanjutan. Oleh karena itu, pengelolaan sampah organik secara profesional menjadi sangat mendesak, mengubah limbah menjadi produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis,
sekaligus menanamkan literasi lingkungan pada peserta didik untuk membentuk kesadaran dan kebiasaan berkelanjutan sejak dini (Fajri and Harmayani, 2020).
Selain menjadi tantangan lingkungan, sisa makanan dan bahan olahan menyimpan kandungan nutrien yang tinggi, seperti protein kasar 10,89-15,58%, lemak 7,77-9,70% dan serat kasar 4,88-9,13%, sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan bahan pakan alternatif sumber protein dan energi untuk pertumbuhan tanaman dan organisme lain (Andriani et al., 2021). Jumlah limbah organik yang homogen dan relatif konsisten di sekolah dan institusi pendidikan memungkinkan pengolahan yang terstruktur dan efisien. Hal ini menunjukkan bahwa di balik volume limbah yang besar terdapat nilai biologis dan ekonomi yang belum tergarap, yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pendidikan, pembelajaran tentang siklus materi, dan pengembangan praktik berkelanjutan di lingkungan sekolah. Dengan kata lain, setiap timbunan sisa makanan bukan hanya menjadi masalah, tetapi juga menyimpan kesempatan untuk menciptakan manfaat yang signifikan bagi lingkungan dan masyarakat.
Berbagai daerah di Indonesia telah mulai menunjukkan kepedulian terhadap pengelolaan limbah makanan, terutama yang berasal dari program pemerintah berskala besar. Salah satu contoh positif datang dari Pemerintah Provinsi Lampung, yang telah menginisiasi pengolahan limbah makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi pupuk organik cair. Langkah ini memperlihatkan bahwa pelaksanaan program MBG tidak hanya berfokus pada pemenuhan gizi masyarakat, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan lingkungan. Pendekatan semacam ini menjadi bukti bahwa pengelolaan limbah makanan dapat dikembangkan secara kreatif dan produktif, sekaligus membuka peluang bagi munculnya gagasan baru yang mengintegrasikan nilai ekologis, sosial, dan edukatif dalam satu sistem keberlanjutan yang terpadu. Salah satu metode yang mendapat perhatian luas adalah biokonversi limbah menggunakan larva lalat tentara hitam (Black Soldier Fly/BSF) (Maulana et al., 2022).
Melalui rancangan SAMAGI (Sustainable Maggot Integration Initiative), pengelolaan limbah dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) diarahkan menjadi sistem yang tidak hanya menyelesaikan masalah sampah makanan, tetapi juga memberi manfaat baru bagi lingkungan dan masyarakat. Dalam gagasan ini, maggot (larva Black Soldier Fly) digunakan sebagai pengurai alami untuk mengubah sisa makanan menjadi pupuk organik dan pakan bernilai tinggi. Proses ini membantu mengurangi penumpukan limbah, menekan pencemaran, dan menghasilkan produk yang bisa dimanfaatkan kembali oleh masyarakat sekitar.
Lebih dari sekadar pengolahan, SAMAGI juga menumbuhkan kesadaran dan kebiasaan peduli lingkungan melalui kegiatan sederhana seperti memilah sampah dan memanfaatkan hasil biokonversi. Dengan cara ini, pengelolaan limbah bukan hanya tanggung jawab teknis, tetapi juga bagian dari pembelajaran sosial yang memperkuat nilai keberlanjutan dalam pelaksanaan program MBG. Gagasan ini diharapkan dapat menjadi contoh nyata bahwa sisa makanan bukan akhir dari proses pangan, melainkan awal dari siklus baru yang bermanfaat bagi manusia dan alam.
PEMBAHASAN
SAMAGI (Sustainable Maggot Integration Initiative) adalah inisiatif integrasi maggot yang berkelanjutan yang bertujuan untuk mengelola limbah organik dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) melalui sistem biokonversi yang menggunakan maggot atau larva lalat tentara hitam (BSF). Untuk mengubah sisa makanan menjadi produk bernilai guna seperti pupuk organik dan pakan ternak alami, program ini menggunakan teknologi sederhana, pendidikan lingkungan, dan ekonomi sirkular. Menurut Sukardi dan Setyawan (2024) larva BSF memiliki kemampuan biologis tinggi untuk menghancurkan limbah organik dengan efisiensi hingga 70-80% dan menghasilkan frass, atau residu maggot, yang kaya akan hara dan dapat digunakan sebagai pupuk. Oleh karena itu, SAMAGI bukan hanya solusi pengelolaan limbah MBG tetapi juga media untuk mengajarkan siswa prinsip keberlanjutan sekolah.
Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN,2024), sisa makanan menyumbang 33,38% dari sampah nasional, ini adalah alasan utama program ini. Biokonversi Maggot dapat mengurangi volume limbah organik secara signifikan. Studi oleh Ramadhani et al. (2024) menemukan bahwa teknologi maggot dapat menghasilkan pupuk siap jual dan menurunkan volume sampah organik hingga 75% di Desa Bilok Petung, Lombok Timur. Hal ini menujukkan bahwa metode biokonversi memiliki potensi besar untuk disesuaikan dengan lingkungan sekolah. Selain itu, SAMAGI mematuhi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab) dan 13 (Penanganan Perubahan Iklim), dengan mengurangi emisi metana dari timbunan sampah. Jika diterapkan secara luas di sekolah-sekolah pelaksana MBG, metode ini berpotensi mengurangi beban TPA hingga ribuan ton per tahun serta mendukung ekonomi sirkular berbasis masyarakat.
Melihat potensi besar biokonversi limbah organik menggunakan larva Black Soldier Fly((BSF), program SAMAGI (Sustainable Maggot Integration Initiative) tidak hanya menjadi solusi terhadap penumpukan sampah dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), tetapi juga menghadirkan model pengelolaan limbah yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan bernilai ekonomi. Dalam konteks ini, SAMAGI memiliki sejumlah kelebihan utama yang menjadikannya unggul dibandingkan metode pengelolaan limbah konvensional seperti pengomposan terbuka.
Salah satu keunggulan paling menonjol dari SAMAGI adalah efisiensi ekologis dan kecepatan proses biokonversi. Larva BSF mampu mengurai limbah organik lebih cepat dibandingkan pengomposan terbuka yang dapat memakan waktu berbulan-bulan. Proses ini berlangsung secara aerobik, sehingga tidak menghasilkan gas metana (CH₄) maupun bau busuk yang umum muncul pada sistem penguraian terbuka. Dengan demikian, SAMAGI berperan langsung dalam menekan emisi gas rumah kaca dan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Selain keunggulan ekologis, program ini juga memiliki efisiensi ekonomi dan sosial yang tinggi. Proses biokonversi maggot tidak memerlukan teknologi mahal maupun peralatan kompleks, sehingga dapat diterapkan di lingkungan sekolah, pesantren, maupun komunitas masyarakat dengan biaya rendah. Hasil biokonversi berupa pupuk organik dan pakan ternak dapat dimanfaatkan kembali di kebun sekolah atau dijual sebagai produk ekonomi sirkular. Dengan demikian, program ini tidak hanya mengurangi timbulan sampah, tetapi juga menciptakan nilai tambah ekonomi dan memperkuat kemandirian finansial lingkungan pendidikan.
Dari sisi sosial dan edukatif, SAMAGI memiliki nilai pembelajaran yang sangat tinggi. Melalui keterlibatan langsung dalam proses pengumpulan, pengolahan, hingga pemanfaatan hasil biokonversi, siswa dapat memahami konsep daur ulang, efisiensi sumber daya, dan tanggung jawab ekologis secara nyata. Program ini juga mendorong implementasi pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) yang relevan dengan kehidupan sehari
hari, serta menumbuhkan karakter peduli lingkungan dan sikap ilmiah di kalangan peserta didik. Dengan demikian, SAMAGI bukan hanya solusi teknis terhadap limbah organik, tetapi
juga sarana pendidikan karakter lingkungan yang memperkuat budaya sekolah hijau (green school culture).
Namun demikian, pelaksanaan program ini tidak terlepas dari beberapa tantangan yang perlu diantisipasi. Salah satu kendala utama adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan teknis dalam budidaya maggot, terutama bagi pihak sekolah atau masyarakat yang baru mengenal sistem biokonversi. Tanpa pelatihan dan pendampingan yang memadai, proses budidaya bisa terganggu dan produktivitas maggot menurun. Selain itu, program ini membutuhkan ruang pengolahan yang memenuhi standar kebersihan dan sanitasi, agar tidak menimbulkan persepsi negatif dari lingkungan sekitar. Tantangan lain yang cukup signifikan adalah tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam memilah limbah organik dan menjaga konsistensi pasokan bahan baku untuk koloni maggot.
Kendati demikian, seluruh tantangan tersebut dapat diatasi melalui strategi yang terencana dan kolaboratif. Pelatihan rutin mengenai teknik budidaya maggot dan pengelolaan limbah organik dapat dilakukan bekerja sama dengan perguruan tinggi atau Dinas Lingkungan Hidup. Sementara itu, kegiatan sosialisasi dan pembentukan komunitas lingkungan akan memperkuat rasa tanggung jawab kolektif dan memastikan keberlanjutan program. Dengan pendekatan yang partisipatif dan edukatif, kelemahan yang ada bukan menjadi hambatan, melainkan peluang untuk memperkuat sistem pengelolaan limbah berbasis sekolah yang mandiri dan berkelanjutan.
Adapun thapan pelaksanaan SAMAGI dirancang agar mudah diterapkan di lingkungan sekolah dengan langkah-langkah berikut.:
1. Pengumpulan Limbah: setiap hari, sisa makanan dari dapur MBG dan konsumsi peserta didik dikumpulkan.
2. Proses Biokonversi: limbah difermentasi dan diberikan pada koloni maggot untuk diurai.
3. Pemanenan: larva maggot dan residu hasil olahan diambil
4. Pengelolaan Lanjutan: residu dikeringkan dan diolah menjadi pupuk cair atau padat. 5. Distribusi dan Edukasi: hasil produk digunakan untuk kebun sekolah, dijual, dan digunakan untuk mengajar ekonomi sirkular.
Skema SAMAGI mengikuti model Circular Economy, di mana limbah organik diproses menjadi produk baru yang kembali digunakan di lingkungan sekolah.
Skema alur sederhana:
Gambar 1. Alur sederhana SAMAGI
Sisa makanan dari program MBG dikumpulkan, lalu diolah melalui proses biokonversi maggot untuk menghasilkan pupuk organik dan pakan ternak. Produk tersebut dimanfaatkan kembali di kebun sekolah sebagai bentuk penerapan ekonomi sirkular. Selain menciptakan lingkungan bersih, program ini juga menjadi media edukasi lingkungan bagi siswa dan dapat direplikasi ke sekolah lain sebagai model pengelolaan limbah berkelanjutan.
Keberlanjutan program dijamin melalui pembentukan Tim Eco-SAMAGI yang dikelola oleh siswa dan guru sebagai penggerak utama kegiatan lingkungan sekolah.
Gambar 2. Logo Komunitas Tim Eco-SAMAGI
Untuk memastikan pendampingan yang berkelanjutan, program ini juga mendapat bantuan teknis dari Dinas Lingkungan Hidup dan perguruan tinggi setempat. Selain itu, prinsip ekopreneurship diterapkan dengan menjual hasil produksi pupuk dan pakan maggot untuk mendapatkan dana untuk menjalankan bisnis sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian Izati et al. (2024), yang menyatakan bahwa sistem berbasis komunitas sangat penting untuk pengelolaan sampah organik yang berkelanjutan dengan BSF.
Pihak yang berperan penting dalam implementasi gagasan ini meliputi:
1. Pemerintah Daerah dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), sebagai regulator dan penyedia fasilitas.
2. Sekolah dan Guru, sebagai pelaksana edukasi lingkungan.
3. Siswa dan Komunitas Sekolah, sebagai pelaku utama dan agen perubahan. 4. Perguruan Tinggi dan LSM, sebagai mitra riset, pelatihan, dan monitoring keberlanjutan
KESIMPULAN
Program SAMAGI menggunakan larva Black Soldier Fly (BSF) untuk mengelola limbah organik. Pendekatan ekonomi sirkular dan biokonversi mengubah limbah menjadi pupuk dan pakan ternak sekaligus menjadi media untuk mengajarkan siswa tentang lingkungan. Dengan mendukung pencapaian SDGs 12 dan 13, program ini memiliki kemampuan untuk mengurangi sampah organik hingga 70% dan meningkatkan kesadaran ekologis. SAMAGI dapat menjadi model sekolah hijau berkelanjutan di Indonesia jika pemerintah dan sekolah mendukungnya.
Dengan demikian, SAMAGI tidak hanya menjawab tantangan pengelolaan limbah MBG, tetapi juga menjadi sarana pendidikan karakter lingkungan dan wujud nyata kontribusi generasi muda terhadap pembangunan berkelanjutan
Ditulis oleh:
Nur Fadillah (2413034090)
Asyifa Kamila Marwa (2415041069)
Shela Khanaya Putri (2511021009)
Anggi Dwi Rahmadani (2515011083)
0 comments:
Posting Komentar