Tampilkan postingan dengan label Bank Karya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Bank Karya. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 06 Desember 2025

INOVASI ALAT PEMANTAU KUALITAS AIR BERBASIS IoT DAN ANALISIS KIMIA SEDERHANA UNTUK DETEKSI DINI PENCEMARAN


PENDAHULUAN

Data Pencemaran Air yang Tidak Layak untuk Dikonsumsi 
Penggunaan air dalam kehidupan sehari-hari di Kelurahan Hajimena Kecamatan Natar Lampung Selatan tepatnya di Perumahan Griya Saka dengan kurang lebih 50 kepala keluarga hampir rata-rata menggunakan air sumur bor. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah kelayakan pemakaian sumur bor tersebut sebagai air bersih untuk kebutuhan sehari-hari. Air tanah dari sumur bor atau gali berasal dari lapisan tanah yang dangkal sehingga mudah tercemar oleh limbah manusia, hewan, dan aktivitas domestik.

Sumur bor dibuat dengan kedalaman 60–200 meter tergantung kondisi akuifer, namun aktivitas manusia dapat menurunkan kualitas air sehingga menjadi tercemar. Jenis sumur memengaruhi kualitas air; sumur gali lebih mudah terkontaminasi (Nia dkk., 2016). Agar air tetap bersih, konstruksi dan lokasi sumur harus memenuhi standar tertentu (Toure, 2019). Air tanah umumnya mengandung zat besi (Fe²⁺) yang dapat berubah menjadi endapan ferrihydrite (Fe³⁺) berwarna cokelat kekuningan, berpotensi menodai peralatan dan berbahaya bila dikonsumsi (Zahara, 2018). Air yang layak digunakan harus jernih, netral, bebas bahan kimia dan bakteri patogen seperti E. coli (Wulandari, 2017). Kaporit sering digunakan sebagai disinfektan karena efektif, mudah larut, dan murah (Herawati & Yuntarso, 2017). Pencemaran air dapat menyebabkan penyebaran penyakit seperti diare, kolera, dan tifus. Di Perumahan Griya Saka Hajimena, kualitas air tanah terancam oleh lokasi yang dekat rawa dan sumber pencemar, sehingga diperlukan pemantauan kualitas air secara berkala untuk menjamin keamanan air bersih bagi warga.

Parameter yang diujikan pada pengujian ini meliputi warna, bau, kekeruhan, rasa, zat padat terlarut, dan temperatur, sedangkan pada parameter Kimia diantaranya meliputi uji kadar Besi (Fe), Kadmium (Cd), Kesadahan (CaCO3) yang terlarut dalam air sumur, dan Parameter Biologi diantaranya MPN. Coliform dan Coli. Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa kualitas air sumur bor yang melebihi baku

1

mutu yang telah ditetapkan adalah warna sebesar 67% yang melebihi baku mutu standar, kadar besi sebesar 75% melampaui baku mutu, klorida sebesar 65%, dan secara biologi yaitu total koliform sebesar 80% melampaui dari baku mutu dengan perpipaan 3% dari baku mutu dan perpipaan sebesar 17%. Garis besar yang bisa diambil dari penelitian ini, secara kualitas air sumur bor di Daerah Kelurahan Hajimena Kecamatan Natar Lampung tidak layak digunakan sebagai air bersih karena beberapa kandungan seperti kadar besi, zat warna, dan coliform melebihi baku mutu dari Permenkes No. 32 Tahun 2017.

Tabel 1. Kualitas air sumur bor berdasarkan parameter fisika

Parameter Hasil Standar Baku Mutu Fisika


1) Warna

2) Rasa

3) Bau

4) Temperatur (oC) 5) Kekeruhan

6) Zat Padat Terlarut

152

Tidak Berasa Tidak Berbau 28,7

11,2

825

50

Tidak Berasa Tidak Berbau Suhu Udara +/-3 25

1500


Berdasarkan hasil pengujian fisika terhadap air sumur bor di Hajimena, Lampung Selatan, sebagian besar parameter yang diukur masih memenuhi standar kualitas air bersih sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 32 Tahun 2017. Namun, nilai warna air mencapai 152 TCU, jauh melebihi batas maksimum 50 TCU. Hal ini menunjukkan bahwa air tidak layak untuk dilihat secara visual, kemungkinan karena adanya zat organik atau mineral terlarut yang menyebabkan pewarnaan. Di sisi lain, parameter lain seperti rasa dan bau tidak terdeteksi, suhu air tercatat 28,7°C yang masih tergolong normal (±3°C dibandingkan suhu udara), dan kekeruhan berada pada angka 11,2 TCU, yang masih berada di bawah ambang batas 25 TCU. Selain itu, kadar zat padat terlarut (TDS) sebesar 825 mg/L juga masih di bawah batas maksimum yang ditetapkan, yaitu 1500 mg/L. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa air sumur bor tersebut memiliki kualitas fisik yang cukup baik dan memenuhi sebagian besar kriteria air bersih, meskipun dari segi warna, air ini masih memerlukan pengolahan lebih lanjut sebelum dapat dikonsumsi secara langsung.

2

Tabel 2. Kualitas air sumur bor berdasarkan parameter kimia Parameter Hasil Baku Mutu Standar Kimia


1) Air Raksa

2) Kadar Arsen

3) Kadar Besi

4) Kadar KAdmium

5) Zat Kesadahan

6) Kadar Klorida

7) Kadar Mangan (Mn) 8) Kadar Nitrat sbg N (NO3-N) 9) Kadar Nitrit sbg N (NO2-N) 10) pH

0,00 0,00 3,95 0,00 127,9 1752 0,214

1,10

0,043 7,98

0,001 0,05

1,0

1,5

500

600

0,5

10

1,0

6,5-9,0


Hasil pengujian terhadap parameter kimia air sumur bor di Hajimena, Lampung Selatan, menunjukkan bahwa sebagian besar aspek masih sesuai dengan standar kualitas yang ditetapkan dalam Permenkes No. 32 Tahun 2017. Namun, terdapat beberapa parameter yang melebihi batas yang diperbolehkan, yaitu kadar besi, klorida, dan kesadahan. Kadar besi (Fe) tercatat sebesar 3,95 mg/L, yang jauh lebih tinggi dari batas aman 1,0 mg/L. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya pencemaran logam yang dapat menyebabkan air tampak keruh dan memberikan rasa logam. Selain itu, kadar klorida yang terukur juga sangat tinggi, yaitu 1752 mg/L, melebihi batas maksimum 600 mg/L. Sementara itu, kesadahan total air mencapai 127,9 mg/L, yang juga melebihi batas aman 500 mg/L. Di sisi lain, parameter lainnya seperti merkuri, arsen, kadmium, mangan, nitrat, dan nitrit masih berada dalam rentang aman dan tidak melampaui batas yang telah ditentukan. Dengan nilai pH sebesar 7,98, air tersebut tergolong netral hingga sedikit basa, masih dalam kisaran normal antara 6,5 hingga 9,0. Secara keseluruhan, analisis ini menunjukkan bahwa kualitas kimia air sumur bor tersebut belum sepenuhnya memenuhi standar air bersih karena adanya kandungan besi, klorida, sehingga air tidak layak dikonsumsi tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu.

3

Tabel 3. Kualitas air sumur bor berdasarkan parameter biologi (Total Coliform dan Koliforin)

Parameter Hasil Kadar Maksimum Sesuai Baku Mutu Perpipaan (A) Non Perpipaan (B)

Biologi


1) Total Koliform 2) Koliforin

210 210

<10 <10

<50 <50


Berdasarkan Tabel 3, hasil analisis parameter Total Coliform dan Escherichia coli untuk titik sampling intake adalah sebesar 210/100 ml sampel, baku mutu Total Coliform (50/100 ml sampel) dan Koliforin (210/100 ml sampel). Hal ini menunjukan bahwa sampel air untuk Perumahan Griya Saka Hajimena tidak dapat dikonsumsi dan tercemar kandungan Total Coliform dan Escherichia coli yang tidak sesuai baku mutu.

Ciri-Ciri Air yang Layak untuk Dikonsumsi

Secara umum, tingkat pH yang ditetapkan untuk air minum adalah antara 6 dan 7, tetapi beberapa air minum yang memiliki tingkat pH lebih tinggi, yaitu 8-9, biasanya dikenal sebagai air minum alkali dengan sifat korosif yang rendah. Semakin rendah pH air minum, semakin tinggi sifat korosif air tersebut. Namun, nilai pH air di atas pH netral (7) dapat membentuk kerak yang lebih besar dan kurang efektif dalam membunuh bakteri. Jadi air yang lebih efektif dalam membunuh bakteri adalah pada pH netral atau kondisi asam lemah. Namun, sekali lagi, konsumsi air minum harus disesuaikan dengan kebutuhan tubuh setiap orang, yang juga memperhatikan kualitas air. Jadi solusi untuk memilih air yang layak untuk dikonsumsi secara umum adalah air tersebut harus memiliki karakteristik umum tidak berasa, tidak berbau, dan tidak berwarna. Sementara itu, untuk kualitas air yang baik, hal ini harus disesuaikan dengan kondisi tubuh setiap orang, di mana pH air yang dikonsumsi sebaiknya berkisar antara 6,5-8,5 dan tidak boleh lebih dari itu.

Saat ini, masyarakat Indonesia mengandalkan dua sumber air minum: air mineral dan air matang, yang bersumber dari sumur di dekat rumah mereka. Di hampir semua wilayah perkotaan, sumber air minum telah beralih ke air mineral. Air ini

4

dikemas dalam wadah, biasanya dalam bentuk isi ulang, galon, atau botol. Hal ini karena di wilayah perkotaan, air tanah sering terkontaminasi limbah, sehingga tidak layak untuk dikonsumsi manusia. Tidak seperti di wilayah perkotaan, banyak masyarakat pedesaan masih mengandalkan air tanah sebagai sumber utama air minum mereka. Mereka memanfaatkan air tanah dengan menggali sumur di dekat rumah mereka. Air ini sebagian berasal dari air hujan yang meresap ke dalam tanah dan menjadi air tanah. Sebelum mencapai tanah, air hujan melewati beberapa lapisan tanah, yang pada gilirannya mengandung mineral. Hal ini karena kondisi air di pedesaan masih baik dan bersih sehingga bakteri pada air dapat dihilangkan dengan cara direbus saja.

Tabel 4. pH perbandingan air mineral dan air rebusan

pH Air Sampel Rata-rata


Sampel Air

pH air

sampel 1 2 3 4 5


Mineral 7.6 7.5 7.5 7.4 7.4 7.4 Air

Rebusan 6.7 6.8 6.8 6.7 6.9 6.8

Pada tabel tersebut terlihat bahwasannya, baik air rebusan maupun air mineral termasuk air yang layak di konsumsi. Hal ini karena keduanya memiliki pH yang berkisar antara 6.5-8.5. Sehingga kedua air tersebut telah layak untuk dikonsumsi, jika ditinjau dari Permenkes No.492/MenKes/Per/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum, dan Standar pH Air Minum yang dimana air yang layak untuk minum memiliki batas pH berkisar antara 6.5-8.5.Hal ini terlihat, pada air mineral didapatkan nilai pengukuran rata-rata pH yang didapatkan selama 5 kali pengukuran pada sampel didapatkan nilai pH sekitar 7.4. Sedangkan pada air rebusan, nilai pH yang didapatkan yaitu berkisar antara 6.8. sehingga kedua air dapat dikonsumsi sebagai air minum ditinjau dari pengukuran pHnya.

5

Maka jika ditinjau dari pergerakan pada grafik tersebut, terlihat bahwasannya, kedua air baik air mineral maupun air rebusan keduanya memiliki pH diatas 6.5. Sehingga untuk melihat kualitas yang paling baik dari segi pH, air rebusan di daerah sukorejo, Lumajang sedikit lebih baik untuk dikonsumsi. Hal ini karena air minum yang paling baik untuk dikonsumsi menurut Depatemen Kesehatan yaitu memiliki pH 7 atau netral.sehingga air yang paling mendekati pH netral tersebutlah yang sedikit lebih baik yang dimana air tersebut merupakan air rebusan dengan pH 6.8 (Handayani, Sudarti and Yushardi, 2023).

Kualitas air minum tersebut barulah dapat dikatakan layak minum apabila parameter fisik, kimia serta biologi air tersebut telah disesuaikan dengan setiap organisme yang terkandung di dalamnya. Kualitas air minum tersebut barulah dapat dikatakan layak minum apabila parameter fisik, kimia serta biologi air tersebut telah disesuaikan dengan setiap organisme yang terkandung di dalamnya (Pasmawati et al., 2023).

Tabel 5. Parameter fisik dalam standar baku mutu kesehatan lingkungan untuk media air hiegiene

No Parameter Wajib Unit Standar Baku Mutu (Kadar Maksimum) 1. Kekeruhan NTU 25

2. Warna TCU 50

3. Zat padat terlarut mg/l 1000

4. Suhu Oc Suhu udara 5. Rasa - Tidak berasa 6. Bau - Tidak berbau Sumber: Permenkes No. 32 Tahun 2017

6

Tabel 6. Parameter kimia dalam standar baku mutu kesehatan lingkugan untuk media air hiegiene sanitasi

No Parameter Unit Standar Baku Mutu (Kadar Maksimum) 1. pH mg/l 6,5-8,5

2. Besi mg/l 1

3. Pluorida mg/l 1,5

4. Kesadahan (CaCO3) mg/l 50

5. Mangan mg/l 0,5

6. Nitrat sebagai N mg/l 10

7. Nitrit sebagai N mg/l 1

8. Sianida mg/l 0,1

9. Deterjen mg/l 0,05

10. Pestisida total mg/l 0,1

Sumber: Permenkes No. 32 Tahun 2017

Tabel 7. Parameter pada Persyaratan kualitas Air Minum

No Jenis Parameter Satuan Kadar Maksimum yang Diperbolehkan

1. Parameter wajib

a. Parameter Mikrobiologi


1. E.Coli

2. Total Kliform

b. Kimia an-organik

1. Arsen

2. Flouride

3. Total Kromium

4. Kadmium

5. Nitrit

6. Nitrat

7. Sianida

8. Selenium

2. Parameter yang tidak wajib 1. Bau

2. Warna

3. TDS

4. Kekeruhan

5. Rasa

6. Suhu

b. Kimiawi

1. Alumunium

2. Besi

3. Kesadahan

4. Khlorida

5. Mangan

Jumlah per 100 ml sampel

Jumlah per 100 ml sampel

mg/l

mg/l

mg/l

mg/l

mg/l

mg/l

mg/l

mg/l

TCU

mg/l

NTU

oC

mg/l

mg/l

mg/l

mg/l

mg/l

0

0

0,01 1,5

0,05 0,003 3

50

0,07 0,01

0,2

0,3

0,3

500

250


7


6. pH

7. Seng

8. Sulfat

9. Tembaga

10. Amonia

Sumber: Permenkes RI No. 492 Tahun 2010

mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l

250

6,5-8,5 250

2

1,5


Menurut (Handayani, Sudarti and Yushardi, 2023), terdapat beberapa faktor-faktor yang berpotensi mempengaruhi kualitas air di suatu daerah. Faktor-faktor tersebut meliputi :

1. Bau dan Rasa

Air minum dapat dikatakan layak untuk dikonsumsi apabila tidak memiliki bau dan rasa. Hal ini karena apabila air tersebut memiliki bau dan rasa maka air tersebut besar kemungkinan mengandung kadar Iron (Fe) yang tentunya mebahayakan tubuh jika dikonsumsi secara berlebihan.

2. Warna

Batas warna air tanah yang baik adalah sama sekali tidak mengandung warna. Air yang berwarna coklat biasanya memiliki kadar iron (Fe) yang tinggi sehingga bahan-bahan anorganik yang terlarut dan meresap ke dalam sumur akan sangat berbahaya jika tidak dilakukan filtrasi terlebih dahulu.

3. Kekeruhan

Batas kekeruhan air tanah yang diperbolehkan dalam Peraturan Menkes No.492 Tahun 2010 adalah tidak keruh (batas maksimal 5 TCU). Keruhnya air tanah tersebut juga dapat disebabkan oleh tingginya kadar Fe. Sehingga hal ini mengakibatkan air menjadi tidak layak untuk dikonsumsi.

4. Suhu

Batas suhu air tanah yang layak untuk dikonsumsi yaitu ±30°C. Secara lebih jelasnya, suhu pada air selalu memiliki kualitas yang baik dan berkisar antara 20-30°C. Sehingga ketika air memiliki suhu dibawah atau diatas standar baku suhu air, maka air tersebut akan terindentifikasi tercemar secara tidak langsung baik karena anorganik maupun mikroorganisme.

8

5. pH

Batas pH air tanah yang diperbolehkan menurut Peraturan Menkes No.492 Tahun 2010 adalah 6.5-8.5. batas tersebut juga digunakan sebagai batas pH air minum atau air yang layak dikonsumsi bagi masyarakat.

9

ISI

Prinsip Penyaringan

Sistem penyaringan air sebelumnya merupakan sistem manual, dimana aktivasi pompa dan valve sebagai aktuator dilakukan oleh operator manusia, berdasar pengamatan mereka tentang kondisi kebersihan air saat ini. Mekanisme manual ini berpotensi menimbulkan inakurasi karena adanya human error.

Sistem penyaringan air otomatis ini terdiri dari sebuah bak filter yang dilengkapi batu filtrasi, dimana ketinggian air dideteksi oleh sebuah water level sensor. Selain itu terdapat: bagian pengisian (water pump 1, valve pengisian air), bagian pembilasan (water pump 2, valve pembilasan, flow sensor 2), bagian pengadukan (blower, valve pengadukan, flow sensor 1), bagian penyaluran air (valve penyaluran air), dan bagian pembuangan air. Ketinggian bak filter sekitar 40 cm. Terdapat dua bak filter identik, yang nantinya akan dikendalikan oleh dua pengendali yang berbeda juga. Layout sistem penyaringan dapat disajikan pada Gambar 2.

Gambar 2. Layout sistem penyaringan

10

Secara umum sistem penyaringan air yang dikembangkan meliputi dua tahap utama: tahap pengisian dan tahap pembersihan. Pada tahap pengisian, tangki akan diisi dengan mengaktifkan water pump I dan valve pengisian air. Sensor level air akan mendeteksi ketinggian air di bak filter. Valve penyaluran air akan terbuka jika bak filter sudah hampir penuh, sehingga air bersih akan disalurkan ke bagian lain. Jika valve penyaluran air terbuka namun bak terus. dalam kondisi penuh (di atas 25 cm), bahkan meluap ke bagian pembuangan air, berarti ada kotoran yang menyumbat saluran filtrasi.

Jika sistem mendeteksi ada banyak kotoran di bak filter, maka akan dilakukan tahapan pembersihan sebagai berikut:

1. Tahap pengosongan bak. Bak filter akan dikosongkan (water pump 1 dan valve pengisian OFF). Valve penyaluran air tetap dibuka. Akan ada sedikit air yang tersisa di bak.

2. Tahap pengadukan. Valve penyaluran OFF, dan blower serta valve pengadukan ON selama 30 detik. Udara akan ditiup oleh blower, sehingga kotoran yang menempel di batu filtrasi akan tertiup dan naik ke air di bak.

3. Tahap pembuangan kotoran. Blower dan valve pengadukan OFF, lalu water pump 2 dan valve pembilasan akan ON (selama 30 detik setelah air mencapai 29 cm) untuk mengisi bak yang telah diaduk. Kotoran akan naik ke atas sampai meluap ke bagian (Hartono and Wicaksono, 2025).

Prinsip Kerja IoT

IoT adalah organisasi gadget yang terkait dan berguna untuk mendukung interaksi korespondensi antar gadget. Ada beberapa inovasi yang menggunakan IoT, seperti sensor, aktuator, kerangka kerja, mikrokontroler, teknologi pertukaran, perlindungan, platform IoT, dan perangkat ilmiah. sensor infra merah, hingga Worldwide Situating Framework (GPS) (Hartanto and Ferosa, 2024).

Sistem penyaringan air otomatis berbasis loT yang dikembangkan memanfaatkan dua buah PLC berbeda merk (PLC Siemens S7 1200 dan PLC Modicon M221).

11

Masing-masing PLC memiliki logika yang identik untuk melakukan penyaringan air seperti telah dijelaskan di atas. Raspberry Pi 4 digunakan sebagai database server (MySQL) dan berfungsi sebagai loT gateway (memanfaatkan Node-Red). Petugas dapat memantau kondisi sistem setiap saat dari internet melalui NodeRed dashboard. Saat terjadi kondisi darurat, sistem akan mengirimkan notifikasi melalui

email. Blok diagram sistem disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3. Blok Diagram Sistem Penyaringan Air Otomatis Berbasis IoT

Sensor flow dan sensor ultrasonik akan dihubungkan ke Arduino. Karena kebutuhan dari sensor flow hanyalah diskrit (ada atau tidaknya air yang mengalir), maka output Arduino akan dihubungkan ke modul input diskrit dari PLC. OpAmp dengan konfigurasi komparator (memanfaatkan LM 324) akan digunakan untuk merubah tegangan dari TTL ke standar PLC (0-24 VDC). Untuk sensor ultrasonic akan dihubungkan ke analog input PLC, karena kebutuhan pengamatan ketinggian air secara analog. Amplifier akan digunakan supaya tegangan berada di kisaran 510

12

VDC. Logika penyaringan air diimplementasikan dengan ladder diagram via software TIA Portal untuk PLC Siemens, dan software SoMachine Basic untuk PLC Modicon.

Dari sisi software IoT, Raspberry Pi 4 akan digunakan sebagai loT gateway dengan memanfaatkan NodeRed. Terkait bak filtrasi pertama, package berikut perlu di install sebagai tambahan di NodeRed: "modbustep" untuk komunikasi dengan PLC Modicon M221. Pada node "modbustep" perlu diatur IP address PLC yang diakses, alamat Modbus yang dibaca dari PLC. Data yang diambil dari PLC akan ditampilkan di nodered dashboard. Selain itu beberapa data juga akan dimasukkan ke database memanfaatkan MySQL database. Jika terjadi kondisi darurat, maka node terkait email notification juga akan digunakan untuk mengirim notifikasi email ke alamat tertentu yang digunakan. Gambar 3 menunjukkan potongan flow Node Red untuk bak filter pertama yang dikendalikan oleh PLC Modicon M221.

Dari sisi software IoT, Raspberry Pi 4 akan digunakan sebagai loT gateway dengan memanfaatkan NodeRed. Terkait bak filtrasi pertama, package berikut perlu di install sebagai tambahan di NodeRed: "modbustep" untuk komunikasi dengan PLC Modicon M221. Pada node "modbustep" perlu diatur IP address PLC yang diakses, alamat Modbus yang dibaca dari PLC. Data yang diambil dari PLC akan ditampilkan di nodered dashboard. Selain itu beberapa data juga akan dimasukkan ke database memanfaatkan MySQL database. Jika terjadi kondisi darurat, maka node terkait email notification juga akan digunakan untuk mengirim notifikasi email ke alamat tertentu yang digunakan. Gambar 3 menunjukkan potongan flow Node Red untuk bak filter pertama yang dikendalikan oleh PLC Modicon M221

(Hartono and Wicaksono, 2025).

13

Gambar 4. Alat Filtrasi Air

14

PENUTUP

Kesimpulan



Inovasi dalam pengembangan alat pemantauan kualitas air yang memanfaatkan Internet of Things (IoT) serta analisis kimia yang sederhana merupakan sebuah langkah signifikan dalam bidang teknologi lingkungan untuk mengatasi masalah pencemaran air. Sistem ini mengintegrasikan sensor pH dan sensor level air, serta pengendalian yang dilakukan melalui PLC Siemens S7-1200 dan Modicon M221, sehingga memungkinkan deteksi perubahan kualitas air secara real-time dengan tingkat akurasi yang tinggi. Dengan penggunaan Raspberry Pi 4 sebagai gerbang IoT yang terhubung dengan platform Node-Red dan basis data MySQL, pemantauan dapat dilakukan secara jarak jauh dan memungkinkan pengiriman notifikasi otomatis saat terdeteksi pencemaran. Kolaborasi antara teknik elektro, informatika, dan ilmu lingkungan dalam sistem ini mendukung pengelolaan sumber daya air yang lebih efisien dan berkelanjutan. Melalui analisis kimia yang dilakukan, sistem ini menjamin bahwa kualitas air berada dalam batas pH yang aman (6,5–8,5) sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan, yang berkontribusi dalam meningkatkan mutu air minum dan mendukung ketersediaan air bersih bagi masyarakat serta pembangunan yang berkelanjutan.




Ditulis oleh:

Holdi Arif Saputra 2515014051

Yola Matruti 2417011085

Aditya Ariyono 2515031020

Aisha Inda Fajrani 2415061034

SAMAGI (Sustainable Maggot Integration Initiative): Rancangan Pengelolaan Limbah MBG melalui Integrasi Biokonversi dan Edukasi Lingkungan

 PENDAHULUAN 

Permasalahan limbah kini menjadi isu global yang terus meningkat seiring  pertumbuhan populasi dan pola konsumsi manusia. Setiap aktivitas produksi dan konsumsi  menghasilkan limbah padat yang jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan dampak  lingkungan serius. Indonesia, sebagai negara berpenduduk terbesar keempat di dunia, kini  dihadapkan pada krisis peningkatan volume sampah yang kian mengkhawatirkan dan  mengancam keberlanjutan lingkungan. Berdasarkan data Sistem Informasi Pengelolaan  Sampah Nasional (SIPSN), pada tahun 2024 Indonesia menghasilkan lebih dari 32 juta ton  sampah. Adapun sekitar 67% dari total sampah tersebut tidak terkelola dan masi berakhir di  tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dengan sistem terbuka. Praktik ini tidak hanya  menyebabkan penumpukan sampah, tetapi juga menghasilkan emisi gas rumah kaca seperti  metana (CH₄) yang berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global. Selain itu,  pengelolaan limbah yang tidak efisien menimbulkan pencemaran air tanah, bau tidak sedap,  serta risiko kesehatan masyarakat. 

Dari keseluruhan timbulan sampah tersebut, limbah organik menjadi komponen  terbesar dan paling menantang untuk ditangani. Berdasarkan data Sistem Informasi  Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan  (KLHK) di tahun 2024, sisa makanan menyumbang sebanyak 33,38% dari total keseluruhan  sampah.  

Permasalahan ini semakin relevan dalam konteks pelaksanaan program Makan Bergizi  Gratis (MBG), yang digarap pemerintah sebagai upaya meningkatkan ketahanan gizi anak  sekolah dan di Indonesia. Program ini, meski memiliki nilai sosial tinggi, berpotensi  menimbulkan timbulan limbah organik baru dalam jumlah besar, terutama dari sisa makanan  dan kegiatan dapur. Berdasarkan keterangan PPID Kota Cimahi, Program Makan Bergizi  Gratis (MBG) meninggalkan jejak karbon di Kota Cimahi, Jawa Barat. Makanan yang  seharusnya habis dikonsumsi sekali makan siang ternyata masih tersisa dalam jumlah  signifikan, sehingga sampah makanan mulai menumpuk sejak peluncuran program makan  siang bergizi gratis pada Senin (6 Januari 2025). 

Dalam skala nasional, ketika jutaan porsi makanan disiapkan setiap hari, sisa makanan  dan bahan olahan berpotensi menjadi persoalan serius jika tidak dikelola dengan pendekatan  berkelanjutan. Oleh karena itu, pengelolaan sampah organik secara profesional menjadi sangat  mendesak, mengubah limbah menjadi produk yang bermanfaat dan bernilai ekonomis, 

sekaligus menanamkan literasi lingkungan pada peserta didik untuk membentuk kesadaran dan  kebiasaan berkelanjutan sejak dini (Fajri and Harmayani, 2020). 

Selain menjadi tantangan lingkungan, sisa makanan dan bahan olahan menyimpan  kandungan nutrien yang tinggi, seperti protein kasar 10,89-15,58%, lemak 7,77-9,70% dan  serat kasar 4,88-9,13%, sehingga sangat berpotensi untuk dijadikan bahan pakan alternatif  sumber protein dan energi untuk pertumbuhan tanaman dan organisme lain (Andriani et al.,  2021). Jumlah limbah organik yang homogen dan relatif konsisten di sekolah dan institusi  pendidikan memungkinkan pengolahan yang terstruktur dan efisien. Hal ini menunjukkan  bahwa di balik volume limbah yang besar terdapat nilai biologis dan ekonomi yang belum  tergarap, yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung kegiatan pendidikan, pembelajaran  tentang siklus materi, dan pengembangan praktik berkelanjutan di lingkungan sekolah. Dengan  kata lain, setiap timbunan sisa makanan bukan hanya menjadi masalah, tetapi juga menyimpan  kesempatan untuk menciptakan manfaat yang signifikan bagi lingkungan dan masyarakat. 

Berbagai daerah di Indonesia telah mulai menunjukkan kepedulian terhadap  pengelolaan limbah makanan, terutama yang berasal dari program pemerintah berskala besar.  Salah satu contoh positif datang dari Pemerintah Provinsi Lampung, yang telah menginisiasi  pengolahan limbah makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi pupuk  organik cair. Langkah ini memperlihatkan bahwa pelaksanaan program MBG tidak hanya  berfokus pada pemenuhan gizi masyarakat, tetapi juga memperhatikan keberlanjutan  lingkungan. Pendekatan semacam ini menjadi bukti bahwa pengelolaan limbah makanan dapat  dikembangkan secara kreatif dan produktif, sekaligus membuka peluang bagi munculnya  gagasan baru yang mengintegrasikan nilai ekologis, sosial, dan edukatif dalam satu sistem  keberlanjutan yang terpadu. Salah satu metode yang mendapat perhatian luas adalah  biokonversi limbah menggunakan larva lalat tentara hitam (Black Soldier Fly/BSF) (Maulana  et al., 2022). 

Melalui rancangan SAMAGI (Sustainable Maggot Integration Initiative), pengelolaan limbah  dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) diarahkan menjadi sistem yang tidak hanya  menyelesaikan masalah sampah makanan, tetapi juga memberi manfaat baru bagi lingkungan  dan masyarakat. Dalam gagasan ini, maggot (larva Black Soldier Fly) digunakan sebagai  pengurai alami untuk mengubah sisa makanan menjadi pupuk organik dan pakan bernilai  tinggi. Proses ini membantu mengurangi penumpukan limbah, menekan pencemaran, dan  menghasilkan produk yang bisa dimanfaatkan kembali oleh masyarakat sekitar.

Lebih dari sekadar pengolahan, SAMAGI juga menumbuhkan kesadaran dan kebiasaan peduli  lingkungan melalui kegiatan sederhana seperti memilah sampah dan memanfaatkan hasil  biokonversi. Dengan cara ini, pengelolaan limbah bukan hanya tanggung jawab teknis, tetapi  juga bagian dari pembelajaran sosial yang memperkuat nilai keberlanjutan dalam pelaksanaan  program MBG. Gagasan ini diharapkan dapat menjadi contoh nyata bahwa sisa makanan bukan  akhir dari proses pangan, melainkan awal dari siklus baru yang bermanfaat bagi manusia dan  alam. 

PEMBAHASAN  

SAMAGI (Sustainable Maggot Integration Initiative) adalah inisiatif integrasi maggot  yang berkelanjutan yang bertujuan untuk mengelola limbah organik dari program Makan  Bergizi Gratis (MBG) melalui sistem biokonversi yang menggunakan maggot atau larva lalat  tentara hitam (BSF). Untuk mengubah sisa makanan menjadi produk bernilai guna seperti  pupuk organik dan pakan ternak alami, program ini menggunakan teknologi sederhana,  pendidikan lingkungan, dan ekonomi sirkular. Menurut Sukardi dan Setyawan (2024) larva  BSF memiliki kemampuan biologis tinggi untuk menghancurkan limbah organik dengan  efisiensi hingga 70-80% dan menghasilkan frass, atau residu maggot, yang kaya akan hara dan  dapat digunakan sebagai pupuk. Oleh karena itu, SAMAGI bukan hanya solusi pengelolaan  limbah MBG tetapi juga media untuk mengajarkan siswa prinsip keberlanjutan sekolah.  

Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN,2024), sisa  makanan menyumbang 33,38% dari sampah nasional, ini adalah alasan utama program ini.  Biokonversi Maggot dapat mengurangi volume limbah organik secara signifikan. Studi oleh  Ramadhani et al. (2024) menemukan bahwa teknologi maggot dapat menghasilkan pupuk siap  jual dan menurunkan volume sampah organik hingga 75% di Desa Bilok Petung, Lombok  Timur. Hal ini menujukkan bahwa metode biokonversi memiliki potensi besar untuk  disesuaikan dengan lingkungan sekolah. Selain itu, SAMAGI mematuhi Tujuan Pembangunan  Berkelanjutan (SDGs), khususnya poin 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab)  dan 13 (Penanganan Perubahan Iklim), dengan mengurangi emisi metana dari timbunan  sampah. Jika diterapkan secara luas di sekolah-sekolah pelaksana MBG, metode ini berpotensi  mengurangi beban TPA hingga ribuan ton per tahun serta mendukung ekonomi sirkular  berbasis masyarakat.

 Melihat potensi besar biokonversi limbah organik menggunakan larva Black Soldier  Fly((BSF), program SAMAGI (Sustainable Maggot Integration Initiative) tidak hanya menjadi  solusi terhadap penumpukan sampah dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), tetapi juga  menghadirkan model pengelolaan limbah yang berkelanjutan, ramah lingkungan, dan bernilai  ekonomi. Dalam konteks ini, SAMAGI memiliki sejumlah kelebihan utama yang  menjadikannya unggul dibandingkan metode pengelolaan limbah konvensional seperti  pengomposan terbuka. 

Salah satu keunggulan paling menonjol dari SAMAGI adalah efisiensi ekologis dan kecepatan  proses biokonversi. Larva BSF mampu mengurai limbah organik lebih cepat dibandingkan  pengomposan terbuka yang dapat memakan waktu berbulan-bulan. Proses ini berlangsung  secara aerobik, sehingga tidak menghasilkan gas metana (CH₄) maupun bau busuk yang umum  muncul pada sistem penguraian terbuka. Dengan demikian, SAMAGI berperan langsung dalam  menekan emisi gas rumah kaca dan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan  Berkelanjutan (SDGs). 

 Selain keunggulan ekologis, program ini juga memiliki efisiensi ekonomi dan sosial yang  tinggi. Proses biokonversi maggot tidak memerlukan teknologi mahal maupun peralatan  kompleks, sehingga dapat diterapkan di lingkungan sekolah, pesantren, maupun komunitas  masyarakat dengan biaya rendah. Hasil biokonversi berupa pupuk organik dan pakan ternak  dapat dimanfaatkan kembali di kebun sekolah atau dijual sebagai produk ekonomi sirkular.  Dengan demikian, program ini tidak hanya mengurangi timbulan sampah, tetapi juga  menciptakan nilai tambah ekonomi dan memperkuat kemandirian finansial lingkungan  pendidikan. 

 Dari sisi sosial dan edukatif, SAMAGI memiliki nilai pembelajaran yang sangat tinggi.  Melalui keterlibatan langsung dalam proses pengumpulan, pengolahan, hingga pemanfaatan  hasil biokonversi, siswa dapat memahami konsep daur ulang, efisiensi sumber daya, dan  tanggung jawab ekologis secara nyata. Program ini juga mendorong implementasi  pembelajaran berbasis proyek (project-based learning) yang relevan dengan kehidupan sehari 

hari, serta menumbuhkan karakter peduli lingkungan dan sikap ilmiah di kalangan peserta  didik. Dengan demikian, SAMAGI bukan hanya solusi teknis terhadap limbah organik, tetapi 

juga sarana pendidikan karakter lingkungan yang memperkuat budaya sekolah hijau (green  school culture). 

 Namun demikian, pelaksanaan program ini tidak terlepas dari beberapa tantangan yang  perlu diantisipasi. Salah satu kendala utama adalah kurangnya pengetahuan dan keterampilan  teknis dalam budidaya maggot, terutama bagi pihak sekolah atau masyarakat yang baru  mengenal sistem biokonversi. Tanpa pelatihan dan pendampingan yang memadai, proses  budidaya bisa terganggu dan produktivitas maggot menurun. Selain itu, program ini  membutuhkan ruang pengolahan yang memenuhi standar kebersihan dan sanitasi, agar tidak  menimbulkan persepsi negatif dari lingkungan sekitar. Tantangan lain yang cukup signifikan  adalah tingkat kesadaran masyarakat yang masih rendah dalam memilah limbah organik dan  menjaga konsistensi pasokan bahan baku untuk koloni maggot. 

 Kendati demikian, seluruh tantangan tersebut dapat diatasi melalui strategi yang terencana  dan kolaboratif. Pelatihan rutin mengenai teknik budidaya maggot dan pengelolaan limbah  organik dapat dilakukan bekerja sama dengan perguruan tinggi atau Dinas Lingkungan Hidup.  Sementara itu, kegiatan sosialisasi dan pembentukan komunitas lingkungan akan memperkuat  rasa tanggung jawab kolektif dan memastikan keberlanjutan program. Dengan pendekatan  yang partisipatif dan edukatif, kelemahan yang ada bukan menjadi hambatan, melainkan  peluang untuk memperkuat sistem pengelolaan limbah berbasis sekolah yang mandiri dan  berkelanjutan. 

Adapun thapan pelaksanaan SAMAGI dirancang agar mudah diterapkan di lingkungan sekolah  dengan langkah-langkah berikut.: 

1. Pengumpulan Limbah: setiap hari, sisa makanan dari dapur MBG dan konsumsi peserta  didik dikumpulkan. 

2. Proses Biokonversi: limbah difermentasi dan diberikan pada koloni maggot untuk  diurai. 

3. Pemanenan: larva maggot dan residu hasil olahan diambil 

4. Pengelolaan Lanjutan: residu dikeringkan dan diolah menjadi pupuk cair atau padat. 5. Distribusi dan Edukasi: hasil produk digunakan untuk kebun sekolah, dijual, dan  digunakan untuk mengajar ekonomi sirkular. 

Skema SAMAGI mengikuti model Circular Economy, di mana limbah organik diproses  menjadi produk baru yang kembali digunakan di lingkungan sekolah. 

Skema alur sederhana: 

Gambar 1. Alur sederhana SAMAGI 

Sisa makanan dari program MBG dikumpulkan, lalu diolah melalui proses biokonversi  maggot untuk menghasilkan pupuk organik dan pakan ternak. Produk tersebut dimanfaatkan  kembali di kebun sekolah sebagai bentuk penerapan ekonomi sirkular. Selain menciptakan  lingkungan bersih, program ini juga menjadi media edukasi lingkungan bagi siswa dan dapat  direplikasi ke sekolah lain sebagai model pengelolaan limbah berkelanjutan. 

 Keberlanjutan program dijamin melalui pembentukan Tim Eco-SAMAGI yang dikelola  oleh siswa dan guru sebagai penggerak utama kegiatan lingkungan sekolah. 

Gambar 2. Logo Komunitas Tim Eco-SAMAGI 

Untuk memastikan pendampingan yang berkelanjutan, program ini juga mendapat bantuan  teknis dari Dinas Lingkungan Hidup dan perguruan tinggi setempat. Selain itu, prinsip  ekopreneurship diterapkan dengan menjual hasil produksi pupuk dan pakan maggot untuk  mendapatkan dana untuk menjalankan bisnis sendiri. Hal ini sejalan dengan penelitian Izati et  al. (2024), yang menyatakan bahwa sistem berbasis komunitas sangat penting untuk  pengelolaan sampah organik yang berkelanjutan dengan BSF.

Pihak yang berperan penting dalam implementasi gagasan ini meliputi: 

1. Pemerintah Daerah dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), sebagai regulator dan  penyedia fasilitas. 

2. Sekolah dan Guru, sebagai pelaksana edukasi lingkungan. 

3. Siswa dan Komunitas Sekolah, sebagai pelaku utama dan agen perubahan. 4. Perguruan Tinggi dan LSM, sebagai mitra riset, pelatihan, dan monitoring  keberlanjutan  

KESIMPULAN  

Program SAMAGI menggunakan larva Black Soldier Fly (BSF) untuk mengelola  limbah organik. Pendekatan ekonomi sirkular dan biokonversi mengubah limbah menjadi  pupuk dan pakan ternak sekaligus menjadi media untuk mengajarkan siswa tentang  lingkungan. Dengan mendukung pencapaian SDGs 12 dan 13, program ini memiliki  kemampuan untuk mengurangi sampah organik hingga 70% dan meningkatkan kesadaran  ekologis. SAMAGI dapat menjadi model sekolah hijau berkelanjutan di Indonesia jika  pemerintah dan sekolah mendukungnya. 

Dengan demikian, SAMAGI tidak hanya menjawab tantangan pengelolaan limbah  MBG, tetapi juga menjadi sarana pendidikan karakter lingkungan dan wujud nyata kontribusi  generasi muda terhadap pembangunan berkelanjutan



Ditulis oleh:

Nur Fadillah (2413034090) 

Asyifa Kamila Marwa (2415041069) 

Shela Khanaya Putri (2511021009) 

Anggi Dwi Rahmadani (2515011083)

Postingan Populer